Hari
ini dikantor ada 2 kejadian paling absurd yang pernah aku alami selama aku
bekerja disana.
Kedua
kejadian tersebut cukup membuat aku tertawa terbahak selama beberapa menit.
Kejadian
yang pertama adalah kejadian yang sedikit misterius. Sampai sekarang aku belum
bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Waktu itu kira-kira jam 10
pagi dan semua orang yang ada dikantor sedang sibuk bekerja di kubikel
masing-masing. Aku juga saat itu sedang sibuk me-review sebuah dokumen milik
sebuah bank swasta di Indonesia, bilang saja Bank B. Dimeja sebelah kiri ada
laptop yang sedang membuka aplikasi pengolah kata, sementara di depan ada PC
yang sedang menampilkan aplikasi TweetCaster. Bukannya apa-apa, aku hanya mau
bilang kalau aku lebih fokus ke layar PC dibandingkan ke layar laptop.
Kubikelku
terletak di lantai 3, bersama dengan beberapa orang karyawan juga. Biasanya jam
segitu lagi hening-heningnya dikantor. Disaat yang tidak diharapkan, tiba-tiba hapeku
berdering kencang, menandakan ada telepon masuk.
Sial,
aku lupa mengaturnya kedalam mode Hening tadi pagi.
Dengan
tergesa-gesa aku ambil hapeku dari kantong celana dan melihat layar hape untuk mencari
tau siapa yang menelepon.
Ternyata
yang sedang menelepon adalah nomor baru yang belum tersimpan di memori hape.
Dan
nomornya dimulai dengan nomor 021. Berarti ini telepon kantor wilayah Jakarta.
Sebelum
mengangkat, aku mengingat-ingat, apa aku ada janji dengan seseorang sebelumnya?
Karena aku tau betul, tidak ada satupun temanku yang pernah (dan akan)
meneleponku dengan telepon kantor. Tidak juga dengan keluargaku yang tinggal di
Jabodetabek.
Jadi,
siapa yang sedang menelepon?
Hanya
ada dua kemungkinan: ini adalah telepon dari perusahaan tempat aku pernah mengajukan
lowongan kerja atau ini adalah telepon dari JNE, soalnya kemaren aku baru kirim
paket ke Palembang dengan menggunakan JNE.
Aku
menjawab telepon itu dengan perasaan sedikit bingung dan penasaran.
“Selamat
pagi” kata suara dari seberang sana. Suara seorang wanita. Suaranya enak
didengar.
“Iya,
pagi” sahutku masih kebingungan. “Ini dengan siapa ya?”
“Ini
dengan Mawar Melati (nama disamarkan – red) dari Bank B cabang X” dia
menjelaskan. “Bisa bicara dengan Bapak A?”
Bapak
A adalah General Manager ditempatku bekerja dan Bank B adalah bank yang saat
ini sedang berurusan dengan perusahaan kami dalam sebuah proyek. Bahkan pada
saat itu aku sedang mengerjakan salah satu dokumen untuk Bank B ini.
Mendengar
oknum-oknum yang terlibat, aku langsung berasumsi bahwa ini adalah telepon
super penting.
Eh,
tunggu dulu…
Kalau
ini telepon yang super penting, kenapa Bank B malah menelepon aku? Ke hape
lagi. Padahal dimejaku ada telepon kantor.
Ada
yang tidak beres disini, pikirku.
Tapi,
mengingat perusahaan kami sedang mencoba untuk menyelesaikan sebuah tender di
Bank B, aku kesampingkan pikiranku yang aneh itu.
“Iya,
mbak. Ini saya dengan Arga, asistennya Bapak A” jawabku berbohong.
Jelas
berbohong. Aku bukan asisten General Manager. Aku hanya staff biasa. Tapi aku memilih
untuk mengatakan bahwa aku adalah asisten General Manager supaya perwakilan
Bank B yang sedang menelepon aku merasa diberi perhatian lebih oleh
perusahaanku dengan memberikan akses langsung ke asisten General Manager. Ini
untuk memberikan kesan bisnis yang baik. I’ve learnt it the hard way.
“Boleh
saya bicara dengan Bapak A?” tanya wanita diseberang telepon.
“Wah,
ada apa ya? Beliau lagi sibuk, Mbak” jawabku asal. Padahal meja Bapak A ada
dilantai 2, sementara aku menjawab telepon di lantai 3. jadi aku tidak tau sebenarnya Bpak A itu sedang apa. Tapi bukan General Manager namanya kalau tidak sibuk.
“Saya
ingin menanyakan sesuatu mengenai pelayanan bank kami, Pak.”
“OK.
Sebentar ya, Mba. Akan saya beritahu beliau” jawabku sambil jalan turun ke
lantai 2.
Saat
tiba di meja General Manager, aku lihat beliau lagi sibuk… makan kacang tanah
#BUMMER.
Aku
tekan Mute pada hapeku dan mulai bicara kepada Bapak A.
“Pak,
ada telepon dari Bank B cabang X. Katanya mau menanyakan tentang pelayanan gitu,
Pak.” Sahutku ke Bapak B.
“Oh,
ya? Tentang apa ya?” tanyanya kebingungan.
“Wah,
saya juga tidak tau, Pak. Pokoknya dia mau bicara dengan Bapak” jawabku
menegaskan.
“Sambungkan
saja ke extension saya” katanya sambil mengupas kacang tanah.
“Umm..
teleponnya ke hape saya, Pak” jawabku sambil menunjuk hapeku.
“Loh,
kok bisa?” dia makin kebingungan.
“Itu
juga yang saya bingung, Pak. Tapi karena ini telepon atas nama Bank B, maka
saya jawab, Pak. Mungkin saja ada untuk urusan proyek” tuturku panjang lebar.
Bapak
A sedikit ragu.
Si
Mbak dari Bank B pasti sudah jamuran menunggu.
“Kita
tidak pernah ada proyek di Bank B cabang X loh” katanya kemudian.
Aku
hanya cengok.
Supervisorku
yang kebetulan duduk disamping Bapak A juga mengernyitkan keningnya. Bingung.
“Penipuan
pasti nih” kata supervisorku.
Kami
semua bertatapan.
Atas
pertimbangan yang tidak matang, akhirnya Bapak A menerima telepon itu.
“Iya,
halo..”
“Iya..
saya Bapak A”
“Tapi
ini bukan nomor saya, Mbak.”
“Sejauh ini sih tidak ada masalah.”
Satu menit berikutnya diisi dengan jawaban
“Iya, baik” atau “Tidak ada masalah” dari Manager gue. Setelah itu, dia memutuskan
hubungan dan menyerahkan hapeku kembali.
Aku menerima hapeku dan berdiri
mematung disana. Menanti penjelasan atas peristiwa yang baru saja terjadi.
“Oh, itu..” katanya memulai
penjelasan. “Saya pernah dulu banget transaksi di Bank B cabang X. Tapi itu
dulu banget. Hanya sekali. Gak tau kenapa mereka baru telepon sekarang
menanyakan palayanan mereka.”
“Dulu banget-nya itu kapan, Pak?” tanyaku
memastikan.
“Hampir 3 tahun yang lalu kayaknya”
jawabnya menerka-nerka.
“3 tahun yang lalu kan kita belum
saling kenal, Pak?! Saya kerja diperusahaan ini baru 2 tahun. Gimana ceritanya
mereka mencari Bapak melalui NOMOR HAPE saya?” tanyaku dengan kondisi mata membelalak,
tidak percaya atas kejadian absurd yang baru terjadi.
“Wah, saya tidak tau” jawabnya sambil
mengangkat bahu tanda tidak tau.”Pokoknya, kalau mereka minta nomor hape saya,
jangan dikasih ya.”
“I–ini gimana ceritanya sih?”
tanyaku pada diri sendiri.
Sampai saat tulisan ini diturunkan,
aku, Bapak A dan supervisorku masih belum tau bagaimana ceritanya Bank B cabang
X bisa menelepon hapeku untuk mencari Bapak A.
Tau darimana Bank B cabang X bahwa aku
dan Bapak A satu kantor?
Dan yang lebih penting lagi, tau
darimana Bank B cabang X nomor hapeku?
Ini adalah pertanyaan yang masih belum
bisa terjawab.
Sambil merenungi kejadia yang terjadi
tadi, akhirnya tibalah waktunya makan malam. Aku dan beberapa teman kerja
sedang lembur mengerjakan sebuah proyek Bank I. jadi, dikantor kami ada aturan.
Kalau lembur diatas jam 7 malam, kami akan dapat makan malam gratis dari
perusahaan dengan biaya makan maksimal sekian puluh ribu. Menu bisa apa saja,
yang penting masih dalam range yang ditentukan.
Malam-malam
sebelumnya kami sudah memesan KFC, PHD, D’Cost, dll. Kebetulan malam ini kami
memilih untuk memesan delivery Chiz n Chic, sebuah restoran yang agak terkenal
di kawasan Binus.
Ditengah
kesibukan mengerjakan dokumen, aku memilih menu Tenderloin Steak Extra Keju dengan
saos Blackpepper.
Disinilah
kejadian kedua berlangsung.
Setelah
menunggu kurang-lebih 30 menit, akhirnya pesanan kami sampai. Pesanankku
sendiri dikemas dalam kotak stirofoam warna putih.
Aku
membuka pesananku dengan perasaan lapar. Ada French fries disubkotak kecil
sebelah kanan, tenderloin steak di subkotak paling gede ditengah, ada sayuran
cincang di subkotak lainnya. Ada saos yang dibungkus terpisah, bersama dengan
keju dan saos blackpepper pesananku. Dan ada juga sendok makan yang terbuat
dari bahan plastik.
Aku
lihat-lihat lagi dibagian bawah kotak, mungkin ada yang keselip.
Tapi
ternyata tidak ada. Hanya itu saja.
Lalu
aku tanya sama orang yang menerima pesanan tadi, “Tadi waktu delivery-nya
datang, gak dikasih pisau ya?”
“Enggak”
jawabnya.
“TRUS
INI GIMANA CARA MAKAN STEAK PAKE SENDOK PLASTIK???” tanyaku tidak percaya.
Yang
ditanya malah tertawa kencang. Sompret!!
Ini
gimana ceritanya sih disuruh makan steak pake sendok plastik? Pasti ini ngajak
bercanda.
Karena
tidak ada pilihan lain, aku coba juga makan steak-nya pake sendok plastik yang
disediakan. Hasilnya? Sendoknya putus sementara steaknya tidak ternoda
sedikitpun.
Ini
delivery paling fail yang pernah gue alami.
Untung
gue ingat, bulan lalu ada yang ultah dikantor pakai cake gitu. Kalau aku tidak
salah, roti pemotong kue-nye masih ada sisa. Dengan penuh harapan, aku buka
lemari pernak-pernik dikantorku dan dengan bangga menemukan pisau plastik bening
didalamnya.
Jadi
aku menghabiskan steak-ku dengan pisau roti dan sendok plastik yang sudah patah.
Bayangkan
betapa besarnya perjuanganku untuk memakan steak yang sudah tidak panas itu.
Moral
of the story (as I tweeted this evening): Jangan pernah pesan steak untuk menu
delivery. Selain daginnya akan menjadi alot karena sudah dingin, gak dikasih pisau
juga. Masa makan steak pake sendok plastic? Emangnya Limbad?