19/11/13

being selfish in the street


I know that living in Jakarta should have made me ‘immune’ to traffic jam. But the fact is… I’m not. At least, not to this one-terrible-traffic-jam-that-never-happened-in-the-vicinity-before. 

Usually, we, bikers, are just lining up in the valley, waiting our turn to get to the main road while driving very slowly. No need to stop or turn off our engine for that. But today, the traffic was so terrific that I eventually turned off my motorbike engine, took my smartphone out of my pocket and played some games out of it.

In fact, I still had the chance to take a picture of the traffic jam using my smartphone.

There were already that much of bikers when I arrived at the scene. Most people would probably just turn back and try to look for another way to get to wherever their destination is, but I just sat on my motorbike and waited peacefully. Oh, crap, that’s obviously a lie. There’s no way I could just wait there peacefully and did nothing. I waited there impatiently. Like a child who wanted to rush to get some candies, I craned my neck to see what’s going on while blaming on whoever I could blame; the bikers, the cars, the road, etc.

When the line was getting longer and my patience wore off, I asked a man besides me, “What went wrong?”

I somehow knew that we both didn’t have any clue of what’s going on. But I couldn’t help but ask him to kill my boredom.

He simply replied “Dunno!”

…and we waited there again. In silence this time.

After waiting for another boring minutes, the traffic jam was finally digested. As I managed to get to the end of the valley, I figured out that it was caused by several big busses that stopped just next to the valley.

I blamed the bus drivers for parking carelessly in the narrow street. I know that they had their necessity in the vicinity, but they should have considered others too. Because of them, many people came late to their work.

Not being selfish is one of the most important rules while driving.

#notetomyself

18/11/13

minta tolong

Kemaren waktu hape Tulang gue rusak, gue repot harus jadi operator telepon kalau anak-anak Tulang gue nelpon ke hape gue dan nyariin Tulang gue. Sekarang, setelah Tulang gue beli hape baru, ternyata gue lebih repot lagi. Apa pasal?  Soalnya, hapenya terlalu canggih untuk ukuran Tulang gue. 

Deep down in my heart, sebenarnya gue senang Tulang gue ganti hape. Bahkan gue bangga kalau dia punya hape lebih keren di banding punya gue. Karena gue bisa pinjem untuk maen game HD di hapenya. Walaupun sebenarnya  gue sebal juga kalau dia banyak nanya tentang hape barunya itu ama gue.

Tapi yang  paling menyebalkan adalah, sesaat setelah dia beli hape itu, dia minta tolong gue untuk memindahkan semua kontak dari hape yang lama ke hape yang baru.

Okelah. Gampang. Pikir gue. Karena gue pernah baca kalau kontak itu bisa dipindahkan melalui koneksi Bluetooth. Nanti gue tinggal select all > send via Bluetooth. Itu mah pekerjaan gampang. Gak nyampe semenit juga bakalan kelar dah.

Jadi waktu malam itu Tulang gue pergi Arisan Parsahutaon di blok sebelah, gue mulai beraksi. Jam baru menunjukkan pukul 7 malam. Gue tunda dulu makan malam gue demi memindahkan kontak di hape Tulang gue. Sekalian gue juga nungguin makanan dari arisan itu. Biasanya Tulang gue bawa paling tidak Lappet atau jajanan lain kalau dia pulang dari arisan.

Gue nyalain hape baru dia dan gue nyalain Bluetooth-nya. Gue juga nyalain Bluetooth hape tulang gue yang lama, lalu gue pair dengan hape yang baru. Setelah pairing selesai, gue langsung mulai mindahin kontak, seperti yang gue rencanain dari awal.

Gue buka kontak dan pilih select all. Setelah semua terpilih, gue buka menu untuk kirim via Bluetooth. Ternyata hape lama Tulang gue terlalu jadul, sehingga sewaktu select all contacts, gak ada pilihan send via Bluetooth. Damn!!

Gue unselect semua contact yang tadi, lalu gue coba kirim satu kontak paling atas via Bluetooth. Hasilnya, bisa! Kontaknya terkirim dengan sempurna. Kontak dari hape lama tersimpan dengan cantik di kontak hape baru. Bagus. Berarti memang bisa kirim kontak lewat bluetooth.

Gue coba kirim  2 kontak sekaligus. Gak bisa. Sial. Masa gue harus kirim satu satu?! Ada berapa kontak di hape jadul Tulang gue? Tar gue hitung dulu. Sekitar 300. Butuh berapa bulan ngirim kontaknya?

Tarik napas. Huft!!

Tapi mau bagaimana lagi. Gue udah keburu janji ama Tulang gue. Malahan tadi sebelum Tulang gue pergi arisan, gue sempat bilang, “Gampanglah kalau cuma mindahin kontak, Lang. Semenit juga selesai. Nanti waktu Tulang balik arisan, pokoknya kontaknya udah selesai dipindahin semua.” Takabur banget gue. Gue lupa kalau hape lama tulang gue itu dijual waktu jaman Dinosaurus masih pada bayi. Udah jadul banget.

Pilih kontak, pencet pilihan, pilih kirim, pilih via Bluetooth, pilih nama Bluetooth yang akan dikirimin kontak, buka hape yang baru, tekan ‘accept’, tunggu sampai proses pengiriman selesai. Itulah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengirim sebuah kontak. Dan gue harus mengulangi cara yang sama sebanyak 300 kali. Bahkan naik gunung tidak lebih capek daripada mengirim kontak ini. Bahkan menunggu pesawat delay tidak lebih membosankan dibandingkan dengan kegiatan ini.

Sekitar pukul 9 malam Tulang gue balik arisan. Sementara gue masih berkutat dengan hape super jadul dan hape canggih miliknya. Benar saja, dia bawa bungkusan yang berisi Lappet. Untung tadi gue belum makan.

“Gimana? Udah selesai dipindahin semua kontaknya?” tanya Tulang gue dengan santai.

“Belum, Lang. Masih sampai abjad S.” jawab gue masam.

“Lama kali? Kau bilang tadi hanya semenit. Sekarang udah 2 jam masih belum selesai juga?” Dia mulai ngomel.

“Iya, lang. Kirain tadi bisa kirim sekaligus. Tapi ternyata harus ngirim satu persatu.”

Gue mulai kesal.

“Heee.. dasar goblok. Itu aja gak bisa. Tadi diarisan teman Tulang bisa ngirim semua kontak sekaligus. Dia ngirim dari BB ke hape Samsung juga. Baru beli Samsung dia. Mirip kayak gini lah. Layar sentuh.”

“Kalau Samsung dimana-mana yah sama, Lang. Sama-sama bisa nerima kontak via Bluetooth. Tapi kan hape yang ngirim beda, Lang” jawab gue beralasan.

“Kalau sama-sama bisa Bluetooth pasti bisa ngirim kontak lah. Kau aja yang gak bisa make hapenya.” Kata Tulang gue tanpa tedeng aling-aling.

Gue langsung sebel.

Kalau dari BB sih kayaknya gue bisa ngirim semua kontaknya cepat. Tapi ini ngirimnya dari hape jadul, ya butuh waktu minimal seminggu lah. Gue bersungut-sungut dalem hati.

Satu jam kemudian, akhirnya gue selesai mengirim kontak dari hape jadul ke hape baru. Semua kontak yang sebelumnya ada di hape lama, kini terpampang manis di hape yang lebih canggih daripada pemiliknya.

Waktu gue kasih hape nya ke Tulang gue, dia senyum puas sambil mulai (belajar) mengoperasikan hape barunya. Sementara hapenya yang jadul, yang dulu sangat disayang-sayang ama dia, dibiarkan teronggok di atas meja.

---

Harus banyak bersabar menghadapi orang seperti Tulang gue *elus-elus dada*

PS:
Arisan Parasahutaon: literally arisan satu kampung; arisan yang dilakukan pada satu daerah (biasanya kompleks perumahan) yang terdiri dari orang Batak yang ada di daerah tersebut.
Lappet: Makanan khas Batak yang terbuat dari campuran kepala parut dan tepung beras yang dibungkus di dalam daun pisang berbentuk limas dan dikukus hingga matang.

15/11/13

cara terburuk untuk berangkat kerja

Belakangan ini Jakarta sekitarnya dilanda hujan mulu. Maklum, sekarang udah memasuki bulan kesekian yang berakhir dengan kata –ember, yang artinya kita harus selalu sedia ember di rumah untuk menampung air hujan yang datang tiap hari supaya jangan kebanjiran. 

Itu sih kata orang. Kalau kata gue, biar ditampung sebanyak apapun, kalau kebanjiran mah tetap aja banjir.

… dan karena hujan itu, gue mengalami kejadian yang paling sial ketika akan pergi ke kantor tadi pagi.

Jadi ceritanya begini…

*gelar tikar*

Karena hujan yang datang tak kenal lelah beberapa hari yang lalu, jalan yang gue lalui dari rumah ke kantor terkena banjir. Awalnya sih gue gak tau dan tetap berangkat dari rumah seperti biasa. Oh iya, rumah gue di daerah Cipondoh, Tangerang dan kantor gue ada di daerah Kebon Jeruk, Jakbar. Dan selama ini gue berangkat ke kantor melalui jalan tikus yang ada di perkampungan, melewati sawah dan sungai kecil yang ada jembatannya.

Gue berangkat dengan motor kesayangan gue lengkap dengan masker, jaket dan sarung tangan. Oke, sebenarnya perlengkapan tadi tidak akan memberikan kontribusi apapun dalam cerita ini, tapi gue sebutin aja karena gue berhutang budi ama mereka.

Ketika tiba di daerah Gondrong, gue lihat banyak mobil dan motor antri. Gue sih biasa aja, karena disitu lagi dibangun flyover untuk dijadikan jalan tol baru, jadi biasanya truk-truk yang ngangkatin material bangunan rada menghalangi jalan. Gue nyelip, nyelip dan nyelip dan sampai pada barisan depan antrian. Ternyata tepat dibawah tol yang sedang  dibangun ada banjir yang tingginya melebihi knalpot motor. Genangan air itu sampai beberapa puluh meter ke depan. Gue yang tidak punya keahlian menyetir motor di dalam genangan air pun langsung putar arah bersama dengan beberapa pengemudi motor lainnya. Gue gak mau ambil resiko motor gue mati ditengah jalan dan gue gak bisa benerinnya. Solusinya, gue memutar jauh dan berangkat ke kantor via Kalideres, melewati perempatan Cengkareng, sampai ke Puri Indah, lalu ke Kebun Jeruk. Walaupun jauh, tapi itu solusi terbaik waktu itu.

Itu terjadi 2 hari yang lalu.

Kemarin, karena takut masih banjir di daerah Gondrong, gue langsung inisiatif berangkat kerja via Kalideres. Yah, walaupun kemaren gak ada hujan, gue yakin air masih menggenang di bawah flyover yang lagi dibangun. Apalagi gue dengar-dengar gosip kalau kali yang seharusnya gue lewatin kalau gue berangkat via Gondrong itu meluap. Sehingga jalan disekitarnya juga tergenang banjir.

Nah, kemarin gue aman karena pergi pulang lewat Kalideres. Walaupun jadi lama, dan motor gue kotor banget karena jalanan yang becek, tapi setidaknya gue gak terjebak banjir.

Nah, pagi tadi adalah malapetaka buat gue.

Awalnya gue udah niat mau berangkat ke kantor via Kalideres, demi menghindari kemungkinan banjir. Tapi waktu Tulang gue lihat gue mau berangkat, dia nanya, “Motor lu kok kotor banget sih?”

Gue kemudian jelasin kalau jalan dari Kalideres sampai Cengkareng itu becek. Jadi tidak mungkin kalau motor bisa tetap bersih setelah melewati kubangan-kubangan lumpur yang berceceran disana.

“Jangan lewat dari Kalideres, dari Gondrong aja” sarannya kemudian. Ketahuilah bahwa gue tau jalan tikus via Gondrong ini dari dia. Sebelum menemukan jalur ‘emas’ Gondrong, gue pergi kekantor melewati Kalideres, yang menurut dia terlalu jauh memutar.

Emang benar sih.
“Tapi Gondrong masih banjir kayaknya, Lang” sahut gue sambil memakai helm dan sarung tangan.

“Udah reda pasti itu. Wong kemaren gak hujan seharian kok, hanya gerimis kecil. Pasti udah reda lah” katanya dengan sangat yakin.

Kemudian, dengan memegang teguh kata-kata paman gue, gue memacu motor ke kantor melewati jalan Gondrong. Gue pikir, karena dia sudah lama tinggal disini, pasti dia sudah hapal keadaan sekitar. Gue yakin banget itu. Lagian, gue malas kalau harus lewat jalur Kalideres, macetnya gak kenal ampun.

Saat memasuki jalan Gondrong, gue memperhatikan pengendara motor yang datang dari arah jalan tol yang sedang dibangun, sepatunya pada kering. Asik, berarti beneran udah reda nih, kata gue dalam hati.

Karena saat itu jalanan sedikit sepi, tidak lama kemudian gue pun tiba di TPK, yaitu dibawah flyover yang sedang dibangun, yang dua hari yang lalu tergenang air. Gue perhatikan ada barisan mobil, tapi hanya sedikit motor. Dan yang pasti, genangan airnya udah surut. Kalau kemaren airnya lebih tinggi daripada knalpot motor gue, sekarang tingginya dibawah knalpot motor gue.

Intinya, airnya udah surut.

Namun begitu, gue harus menyetir dengan sangat lambat, supaya air genangan itu tidak menciprat dari ban motor gue dan mengenai pengendara lain. Selain itu, gue juga harus meletakkan kaki di leher motor supaya tidak terkena cipratan air dari pengendara lain.

Setelah detik-detik menegangkan itu, akhirnya gue bebas dari jebakan banjir. Gue memacu motor gue dengan kecepatan tinggi sampai gue menemukan genangan yang serupa dengan yang sebelumnya. Kembali gue memacu motor dengan kecepatan sangat lambat dan meletakkan kaki di leher motor.

Setelah pencobaan kedua selesai, gue tenang. Gue pikir semua masalah banjir ini sudah selesai.

Sampai ketika gue tiba di dekat sungai kecil, di tengah jalan ada papan yang berisi tulisan yang mengatakan bahwa jembatan penyeberangan kecil yang disediakan terendam banjir setinggi hampir 1 meter.  Sebagai pengendara yang baik, tentunya gue tidak langsung percaya begitu saja. Gue dan beberapa pengendara sepeda motor lainnya tetap bertekad untuk membuktikan bahwa tulisan banjir tadi hanya bohong belaka.

Tapi kemudian kami harus menelan ludah kami karena yang terpampang didepan kami sungguh sebuah pemandangan yang tragis. Banjir setinggi pinggang orang dewasa dan anak-anak terlihat bermain bahagia di genangan air yang berwarna coklat itu. Tidak mungkin untuk melewati genangan air itu.

Putar balik.

Jalan itu tidak bisa dilewatin. Jadi kami semua mutar balik kearah kami datang tadi. Hanya, gue gak mau kembali melewati 2 genangan air yang membuat gue jinjit diatas motor. Akhirnya gue mencari jalan lain yang bisa membawa gue ke kantor.

Gue bertanya kepada salah seorang penduduk yang kebetulan menyaksikan tidakan putar balik yang kami lakukan tadi. Menurut penuturannya, ada jalan kecil yang bisa dilewati untuk menuju Puri Indah dan bebas banjir.

“Dari sini lurus aja, nanti belok kanan di perumahan itu. Ikuti aja jalannya, nanti sampai ke Puri” jelasnya sambil menujuk-nujuk arah jalan.

Gue pikir memang jalannya segampang itu. Belok kanan, masuk perumahan dan.. simsalabim.. langsung sampai ke Puri Indah. Ternyata jalan yang gue lalui banyak percabangannya, dan gue gak tau jalan mana yang harus ditempuh.

Gue berhenti sebentar. Waktu mengamati jalan, gue melihat ada seorang cewek yang memakai kemeja batik dan celana bahan melintas di depan gue dengan motor matic-nya. Dari style-nya sih gue yakin dia pasti mau kerja. Maka gue ikutin dia.

Gue ngerasa seperti dalam sebuah film detektif, dan gue adalah detektifnya. Gue seperti Conan Edogawa yang sedang menguntit Vermouth secara diam-diam… di jalan raya.

Kurang hebat apa aksi gue?

Belok kiri, belok kiri, belok kanan, lalu masuk gang kecil, belok kanan lagi, masuk jalan besar yang banyak mobilnya. Sepertinya jalan yang dia ambil benar.  Gue jadi yakin kalau dia memang mau kerja.

Sampai pada sebuah jalan kecil, dia kemudian menepikan motornya disebelah kanan jalan dan mulai bercakap ria dengan seorang wanita yang sedang menggendong anak. Gue berasumsi bahwa wanita itu adalah ibu si gadis yang sedang gue untit.

Satu fakta telah terkumpul. Mihihihi… *ketawa kejam*

Eh, Tunggu dulu. Berarti gadis itu sedang tidak menuju kantor dong? Lah, gue gimana?

Setelah terlepas dari gadis itu, gue terlantung-lantung. Tanya sana-tanya sini, akhirnya gue sampai juga di Puri Mall. Sedikit lagi dan gue akan sampai di kantor dan semua kesialan ini akan berakhir.

Hari ini tidak mungkin menjadi lebih buruk kan? Pikir gue dalam hati.

Tapi kemudian alam menganggap pikiran gue itu sebagai tantangan. Bukannya membiarkan gue menyetir santai ditengah-tengah kemacetan Jakarta yang sangat menguji kesabaran, alam malah memberikan hal lain yang lebih menakutkan.

Jadi waktu itu gue udah hampir sampai kantor. Tinggal satu perempatan lagi, belok kiri dan gue akan sampai di kantor tercinta. Saat itu terlihat barisan mobil yang lumayan panjang disebelah kiri jalan. Supaya tidak terkena macet, gue mengambil jalur tengah yang rada sepi.

Ketika gue hampir mencapai perempatan, lampu menyala merah dan semua kendaraan berhenti. Hanya pada bagian kiri jalan, di samping barisan mobil tadi, terlihat pergerakan motor secara perlahan.

Gue lalu mempraktikkan hasil latihan gue selama beberapa bulan mengendarai sepeda motor di Jakarta: nyelip diantara mobil. Dengan sigap dan yakin gue selip-sana-selip-sini untuk dapat sampai pada bagian kiri jalan yang bisa dilalui sepeda motor tanpa harus terjebak macet.

Pada saat gue melakukan ‘selip’ teakhir itulah kesialan itu terjadi.

Disamping gue ada mobil avanza silver yang sedang berhenti karena macet. Didepannya juga ada avanza warna hitam yang sedang berhenti, juga karena macet. Diantara kediua avanza itu, ada space yang cukup untuk diselipin sepeda motor. Kesitulah gue memacu motor dengan perlahan. Gue pasang lampu sign ke arah kiri. Saat setelah gue sampai di space itu, gue belok kiri. Tepat setelah ban motor depan gue melewati mobil avanza silver , gue lihat motor gede melaju dengan cepat dari sebelah kiri mobil avanza silver itu kearah gue.

Gue gak sempat bereaksi, hanya mulut gue yang menganga lebar saat itu dan tiba-tiba…

BRAAAK!!

Motor gede itu menghantam bagian depan motor gue.

Bagian depan motor gue terdorong keras kearah kanan dan badan gue terjembab kearah mobil avanza hitam disamping gue. Gue menjerit kesakitan karena merasakan sakit di bahu sebelah kanan gue. Sementara yang menabrak motor gue terjatuh dengan keras kearah kiri, menghantam trotoar dengan badannya.

Tak sempat mengurusi sakit, gue langsung menstabilkan posisi sepeda motor yang saat itu bersandar ke avanza hitam. Setelah posisi gue stabil, gue langsung membantu penabrak gue yang saat itu masih tersungkur di tanah. Keadaannya sangat buruk. Bahkan selama beberapa saat, dia hanya tersungkur ditanah dan tidak bangkit lagi. Tapi gue tau kalau dia masih hidup.

Ternyata kaki kirinya terjepit motor gede yang menimpanya.

Gue langsung pasang standar motor gue dan menghampirinya. Gue bantu mengangkat motornya tapi terlalu berat. Gue menghimpun tenaga dan mencoba mengangkatnya lagi. Kali ini berhasil.

Setelah motornya gue berdirikan, dia lalu bangkit sambil terpincang.

Gue yang memang belum pernah mengalami tabrakan atau jatuh dari motor sebelumnya merasa takut setengah mati. Ditambah lagi penabrak gue berbadan gede dan memakai jaket hitam, menambah rasa takut gue.

“Ma.. maaf mas. Gak sengaja” ucap gue terbata-bata. Saat itu lutut gue gemetar karena takut, terkejut dan lemas. Sebuah kombinasi yang tidak baik.

Saat itu gue mengharapkan sebuah pukulan atas kecelakaan yang (sepertinya) gue sebabkan, dan gue udah mempersiapkan badan gue untuk menerima rasa sakit dari pukulan yang akan dia beri. Tapi ternyata respon yang gue terima sangat berbeda dari yang gue bayangkan.

“Bukan. Gue yang minta maaf mas karena ngebut dijalan kecil” katanya sambil mengarahkan tangannya, ingin berjabat dengan gue.

Menerima respon yang demikian, gue langsung lega, walau masih gemeteran.

Gue kembali ke motor gue dan siap melanjutkan perjalanan. Sementara dibelakang gue sudah banyak antrian sepeda motor yang melihat kejadian tadi. Tapi, karena saat itu motor si penabrak gue berada di depan gue, gue menunggu dia untuk maju duluan.

Lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau, tetapi dia belum juga memacu motornya. Dengan tertatih dia menuntun motornya menepi ke sisi trotoar dan mempersilahkan gue maju.

“Sekali lagi, maaf mas” kata gue saat melewatinya. Gue ingin segera cepat-cepat berlalu dari tempat itu dan melupakan semuanya.

Dia hanya melambaikan tangannya sambil mengecek kerusakan motornya yang lebih mahal dibandingkan motor butut gue.

Tapi kemudian, gue trauma. Akibat kejadian itu, gue menyetir motor ke kantor dengan sangat lambat. Kaca spion sebelah kiri gue udah gak berbentuk dan gue masih gemeteran.

Gue shock.

Pagi hari yang buruk untuk menuju ke kantor, ujar gue dalam hati.

---

Terimakasih alam, atas tantangannya.

13/11/13

hape yang lebih canggih daripada pemiliknya

Akhirnya Tulang gue beli hape baru juga. Awalnya gue diajak ikut nemenin beli hape ke Roxy, tapi karna gue lagi malas keluar rumah, gue nolak ajakannya. Lagian, dilihat dari perbincangan sebelumnya, sepertinya sudah pasti kalau dia akan membeli Nokia Lumia 720 atau 710. Pokoknya antara yang 2 itu lah.

Lalu Tulang gue pergi. Bareng Nantulang gue. Bedua. Sementara gue molor di rumah. Menikmati 'me time' yang jarang ada.

Udah sekitar 2 jam mereka pergi. Kirain udah selesai beli hape, gak taunya Tulang gue malah nelpon gue, nanya, “Kalau Samsung S3 mini bagus gak?”.

Gue bingung. Ngapain nanya Samsung? Bukannya mau beli Nokia Lumia?

Dari telpon, gue tau kalau ternyata Nokia Lumia 720 belum beredar banyak di Indonesia waktu itu. Dan ketika dia pengin beli Nokia Lumia 720, si penjualnya sotoy banget bilang kalau Window 8 yang diusung perangkat itu susah digunakan, apalagi untuk ukuran Tulang gue yang gaptek bin norak. Alhasil, dia pun mengurungkan niatnya membeli Lumia 720.

“Samsung S3 mini bagus kok, Lang. Mirip-mirip hapeku lah, tapi lebih keren dikit” jawab gue jujur.

“Oh, OKE. Kalau Samsung Grand?” tanyanya lagi.

Ini kenapa nyangkut-nyangkut ke Samsung Grand segala sih? Udah jelas-jelas Samsung Grand itu diluar rencana. Gak sesuai budget dan anggaran. Dapat darimana dia info tentang keberadaan Samsung Grand? Ada yang salah ini.

“Samsung Grand buat apa, Lang? Ukurannya aja kegedean. Tulang mau ganjal pintu pake Samsung Grand? Lagian Tulang hanya perlu telpon dan sms kan? Gak perlu lah. Ambil Nokia Lumia itu aja atau Samsung S3 mini tadi” gue mengingatkan dia bahwa dia gak perlu hape yang keren untuk saat ini. Toh dia gak bisa ngetik SMS di hape Nokia dia yang jadul.

“OK” katanya singkat dan padat.

Gue pun tenang dan melanjutkan tidur. Benar-benar seperti kerbau.

Menjelang sore, Tulang dan Nantulang gue balik bawa bungkusan plastik putih. Loh kok isinya kayak kotak makanan? Eh, ternyata iya. Mereka bawain gue makanan. Tau aja nih gue belon makan dari pagi.

Setelah itu mereka langsung keluarin belanjaan mereka. Gue yang udah ngarep bakal maenin hape dengan OS Windows 8 langsung kecewa setelah ngelihat box hape yang dibeli: Samsung Grand.

Gue sedih. Harapan gue gak kesampean.

“Loh, kok jadi beli Samsung Grand, Lang?”

“Biar sekalian gede. Biar gak susah baca tulisannya. Kalau hapenya lebih gede tulisannya kan bisa lebih gede” jawab Tulang gue bangga.

Aduh, ini salah banget deh motivasinya beli hape. Kalau mau lihat tulisan yang gede gak harus di hape yang gede juga kan? Di hape kayak punya gue juga bisa, tinggal atur font size nya aja.

Tapi ya sudahlah. Udah terlanjur. Ini pasti dia diiming-imingi ama penjual hape di Roxy. Tau aja kalau Tulang gue gak ngerti tentang hape, disuruh beli apa aja mau. Padahal waktu diskusi di rumah, dia kekeuh banget sampe ngukur dimensi hape pake penggaris segala

*sigh*

Gue bongkar bungkusan belanjaan dia yang lain.

Apa ini? Power Bank? Untuk apa? Gue aja yang sering travelling ke gunung 4 hari belon mikir untuk beli Power Bank.

Apa lagi ini? Jam tangan MITO yang ada kameranya? Untuk apaaaaa??

“Power Bank untuk apa , Lang?” tanya gue heran.

“Biar gak usah ngecas ngecas lagi. Katanya hape ginian batrenya cepat habis. Kalau ada Power Bank kan gak perlu takut kalau batrenya habis” dia menjelaskan dengan percaya diri. Sepertinya dia sudah menghapal alasan itu dari perkataan si penjual power bank tadi.

Ini salah banget. Udah jelas dia gak pernah kemana-mana. Hanya di rumah aja. Kalau baterainya habis kan bisa di cas pake charger bawaan!!

“Terus, jam tangan MITO ini untuk apa?” tanya gue, masih keheranan.

“Itu jam bagus loh. Ada kameranya. Bisa untuk telpon juga. Tulang baru tau kalau ada jam tangan seperti itu. Kayak di pilem-pilem aja. Makanya Tulang beli”

Muahahaha. Gue hanya bisa ketawa dengarin penjelasan Tulang gue. Gak masuk akal banget sih, beli jam tangan hanya karena keren, padahal toh juga gak dipake. Mending dikasih ama gue.

Yasudahlah, mending juga gue makan pansit goreng yang mereka bawa tadi.

--

Salah banget gue gak ikut nemenin Tulang gue beli hape!!

12/11/13

ukuran hape yang bermasalah

Hape Tulang gue belakangan udah menunjukkan tanda-tanda rusak. Setiap kali ditelpon, pasti gak pernah nyambung, padahal saat itu kondisinya lagi menyala dan dapet sinyal

Karena hapenya yang bermasalah itu, gue jadi repot.

Loh, kok?

Soalnya, anak-anak Tulang gue jadi nelpon ke gue. Gitu diangkat, mereka bilang “Bang, ada papa gak? Tolong kasihin ke papa dong!!” Gue kan jadi sebel.

Selama ini hape gua gak pernah ada yang nelpon. Gue aja sampai lupa apa nada dering hape gue karena udah lamaaa banget gak berdering. Kemaren ada telpon masuk, gue senang. Akhirnya di Indonesia ini ada juga yang tau kalau gue punya hape, dan nelpon gue. Itu pikiran gue. Tapi pas telponnya gue angkat, si penelepon bukan nyariin gue, tapi nyari Tulang gue. Ya, selama seminggu kemaren kerjaan gue dirumah ya itu, jadi mesin penjawab telepon. Setiap hape gue berdering, gue langsung menghadap ke Tulang gue sambil bilang, “Tulang, ada telepon.” Sedih!

Maaf, mendadak curhat.

Jadi Tulang gue memutuskan untuk membeli hape baru untuk menggantikan hape Nokia 3230-nya yang udah uzur. Gue gak tau dia dapet informasi darimana, tapi dia suka banget sama Nokia. Sampai suatu malam, ketika gue baru pulang kerja, dia nunjukkin beberapa brosur hape Nokia keluaran terbaru. Ada beberapa brosur Nokia (Lumia 720, Lumia 710, Asha, dll.), sepertinya dia sudah bertekad untuk membeli salah satu dari hape tersebut.

Baguslah, berarti gue gak perlu jadi operator telepon lagi.

“Ternyata hape Nokia sekarang udah pada layar sentuh semua ya” kata Tulang gue disela-sela acara nonton TV malam itu.

Gue yang waktu itu gak tau arah pembicaraan, hanya bisa jawab, “Iya, Lang. Yang pake keypad sekarang udah gak laku lagi.”

“Udah gitu sekarang bentuknya besar-besar lagi. Udah seperti punyamu semua” katanya sambil menunjuk hape gue, Samsung Gal S Advance.

Gue cuek aja diejekin kayak gitu, udah biasa.

“Lihat ini…” katanya sambil menunjukkan brosur Nokia Lumia 720. “Layarnya besar, 4.3 inchi. Lebih besar mana dibandingkan punyamu?”

“Ya lebih besar itu lah, Lang. Punyaku hanya 4 inchi” sahut gue seadanya.

“Berarti lebih bagus Nokia ya?! Emang dari dulu Nokia itu lebih bagus sih” ucapnya sombong.

“Errr…” gue langsung kesal dengan generalisasi yang dia buat.

Emang kalau layarnya lebih gede, pasti lebih bagus ya? Mungkin kalau hape gue dibandingin ama Nokia Lumia 720 memang lebih bagus Nokia Lumia itu, karena memang lebih mahal. Mungkin loh ya. Tapi kalau dibandingin ama Mito atau Lenovo yang layarnya segede daun pintu, masih lebih bagus hape gue lah. Oke, ini rasis.

Intinya, besarnya layar tidak menjamin segalanya.

Tapi akhirnya gue nyantai. Gue maklum, soalnya Tulang gue rada gaptek. Gak ngerti tentang hal beginian.

Gue kirain dia udah selesai dengan masalah ukuran hape tadi, ternyata tidak. Waktu gue lagi asik maenin hape setelah generalisasi tidak benar yang menjengkelkan barusan, dia ngomong lagi “Tapi kok kayaknya lebih gede BB ini ya?” katanya sambil memegang BB Bold 1 miliknya yang dia pakai hanya untuk dengerin musik Batak tanpa menggunakan fitur BBM-nya.

Gaya banget kan dia?

Karena udah mulai males, gue jawab seadanya “Gak tau sih, Lang. Tapi mungkin iya, soalnya kan BB lebar untuk tempat keypadnya. Sementara Nokia gak perlu keypad lagi, udah pake touchscreen.”

Dan dia nyambung lagi, dengan membeberkan isi brosur yang dipegangnya sama gue.

“Di brosur ditulis kalau dimensi Nokia 720 itu 127.9 x 67.5 x 9 mm. Kalau BB ini berapa ya dimensinya?”

Tulang gue pantang menyerah ternyata.

Gue diem aja, pura-pura gak dengar. Untuk apa juga ngurusin ukuran hape.

Beberapa detik berlalu tanpa ada suara.

Akhirnya Tulang gue berdiri dan pergi ke dapur. Kirain semua percakapan yang gak penting ini sudah berakhir, tidak taunya dia kembali dari dapur sambil membawa PENGGARIS ditangannya.

Gila, buat apa tuh penggaris?

Setelah mengamati, ternyata penggaris itu dipakai untuk mengukur dimensi BB tadi.

Sigh..

Dia mengambil BB itu dan mulai mengukur panjang, lebar dan ketebalannya. Semua hasil pengukurannya ditulis di secarik kertas yang ada di meja di depan kami. Setelah sibuk mengukur, dia bilang, “Ternyata benar, lebih gede BB ini”.

Gue sebenarnya udah malas ngomong, tapi gue harus memberikan respon terhadap pernyataan barusan untuk menghargai dia. “Oh, lebih gede BB ya Lang?” sahut gue seadanya tanpa memalingkan muka dari layar hape gue.

Selesai? Belum.

Tulang gue rupanya perhatian banget sama bentuk fisik dari hape yang akan dibelinya. Dia lanjut ngomong.

“Kalau dikantongi, enak gak ya?”

“….”

Dia lanjut menanyakan hal yang tidak penting lagi, “Punyamu beratnya berapa gram? Kalau Nokia Lumia ini beratnya 128 gram. Lebih berat mana sama punyamu. Terus kalau dibandingkan sama BB ini, lebih berat mana?”

“….”

Hening…

Selesai? Masih belum.

“Tapi Nokia Lumia 710 juga bagus kok. Layarnya 4 inchi beratnya blabla blabla..” sambungnya lagi.

Oh, GOD. Diskusi (gak penting) diatas akan terulang lagi!!!

Gue buru-buru masuk kamar dan kunci pintu

--

Lang, yang mahal itu fungsinya, bukan ukurannya!! Emangnya hape itu kayak daging yang itung kiloan?

11/11/13

orang kaya

Sabtu lalu gue lagi santai di ruang tengah sambil ganti-ganti channel TV. Heran ya, kenapa gak ada acara TV yang keren di hari Sabtu? Padahal kan insan kurang kerjaan kayak gue butuh hiburan. Kasih pilem luar negeri gitu kek. Kasih acara menarik gitu kek. Ini malah acara musik yang gak jelas dengan aksi cuci-cuci-jemur-jemur yang sungguh tidak menarik. 

*sigh*

Menjelang sore, Tulang gue balik ke rumah. Entah darimana dia seharian. Sementara Nantulang gue lagi ada acara arisan di tempat lain. Gue yang saat itu lagi sebel sama stasiun TV di Indonesia, cuek aja akan kedatangan Tulang gue, sambil sibuk gonta-ganti channel.

Dia duduk dibangku samping gue. Sibuk membolak-balik berkas yang dibawa dari luar tadi. Entah kertas apa aja tuh. Banyak banget.

Tiba-tiba dia nyeletuk, “Tulang butuh uang nih!”

Gue bingung. Apa maksudnya ngomong gitu?

“Hah? Buat apa, Lang?” tanya gue kebingungan.

“Tulang butuh uang 250”

“Ya tunggu gue gajian lah, Lang. Emang buat apa sih, tumben banget?” sahut gue tambah kesal. Gue pikir dia butuh uang 250 ribu. Kalau iya, nanti kalau gajian gue kasih deh, sekalian buat bayar utang gue arisan bulan lalu yang lupa gue bayar.

“OKE, 250 juta ya. Buat beli tanah Tulang.”

 (dalam hati) “Bujugile!! Emang gue punya pohon duit, bisa tiba-tiba panen uang 250 juta gitu?”

Ternyata dia baru dari kantor pajak, bayar pajak tanah. Dia punya sepetak tanah di daerah Bogor, dan harganya itu sekitar 200 jutaan lah. Dia kayaknya mau jual tanah gitu, dan dia nawarin gue.

*salah orang*

Dia kira gue orang kaya yang bisa seenaknya beli tanah. Muehehe..

Gue nyengir aja. Tiba-tiba terbayang uang di dompet tinggal cepe, pas untuk ongkos minggu ini sebelum gajian. Tragis banget hidup gue.

---

Ya ampun Lang, boro-boro beli tanah, beli celana dalam aja gue gak bisa, gak punya uang.

Note:
Tulang: Paman
Nantulang: Tante
diambil dari penuturan Suku Batak

10/11/13

I am what I write

Post pertama ini seharusnya tentang perkenalan, jadi agak sedikit tidak nyambung dengan judul yang tertulis diatas. Namun demikian, karena gue suka dengan judul tersebut, makanya gue menggunakannya sebagai judul .

#judulception

Karena gue tidak pandai merangkai kata, maka perkenalan kali ini akan langsung diarahkan pada akun sosial media milik gue:

Twitter: @argajirga
Instagram: argajirga
Facebook: arga jirga

I'm not a hipster. I'm not a celebrity. I'm not a famous person.

You will not find anything sophisticated in this blog.


warm regards,

argajirga