Belakangan ini Jakarta sekitarnya dilanda hujan mulu.
Maklum, sekarang udah memasuki bulan kesekian yang berakhir dengan kata –ember,
yang artinya kita harus selalu sedia ember di rumah untuk menampung air hujan
yang datang tiap hari supaya jangan kebanjiran.
Itu sih kata orang. Kalau kata gue, biar ditampung sebanyak
apapun, kalau kebanjiran mah tetap aja banjir.
… dan karena hujan itu, gue mengalami kejadian yang paling
sial ketika akan pergi ke kantor tadi pagi.
Jadi ceritanya begini…
*gelar tikar*
Karena hujan yang datang tak kenal lelah beberapa hari yang
lalu, jalan yang gue lalui dari rumah ke kantor terkena banjir. Awalnya sih gue
gak tau dan tetap berangkat dari rumah seperti biasa. Oh iya, rumah gue di
daerah Cipondoh, Tangerang dan kantor gue ada di daerah Kebon Jeruk, Jakbar. Dan
selama ini gue berangkat ke kantor melalui jalan tikus yang ada di
perkampungan, melewati sawah dan sungai kecil yang ada jembatannya.
Gue berangkat dengan motor kesayangan gue lengkap dengan
masker, jaket dan sarung tangan. Oke, sebenarnya perlengkapan tadi tidak akan
memberikan kontribusi apapun dalam cerita ini, tapi gue sebutin aja karena gue
berhutang budi ama mereka.
Ketika tiba di daerah Gondrong, gue lihat banyak mobil dan motor
antri. Gue sih biasa aja, karena disitu lagi dibangun flyover untuk dijadikan
jalan tol baru, jadi biasanya truk-truk yang ngangkatin material bangunan rada menghalangi
jalan. Gue nyelip, nyelip dan nyelip dan sampai pada barisan depan antrian. Ternyata
tepat dibawah tol yang sedang dibangun
ada banjir yang tingginya melebihi knalpot motor. Genangan air itu sampai beberapa
puluh meter ke depan. Gue yang tidak punya keahlian menyetir motor di dalam
genangan air pun langsung putar arah bersama dengan beberapa pengemudi motor lainnya.
Gue gak mau ambil resiko motor gue mati ditengah jalan dan gue gak bisa
benerinnya. Solusinya, gue memutar jauh dan berangkat ke kantor via Kalideres,
melewati perempatan Cengkareng, sampai ke Puri Indah, lalu ke Kebun Jeruk.
Walaupun jauh, tapi itu solusi terbaik waktu itu.
Itu terjadi 2 hari yang lalu.
Kemarin, karena takut masih banjir di daerah Gondrong, gue
langsung inisiatif berangkat kerja via Kalideres. Yah, walaupun kemaren gak ada
hujan, gue yakin air masih menggenang di bawah flyover yang lagi dibangun.
Apalagi gue dengar-dengar gosip kalau kali yang seharusnya gue lewatin kalau
gue berangkat via Gondrong itu meluap. Sehingga jalan disekitarnya juga
tergenang banjir.
Nah, kemarin gue aman karena pergi pulang lewat Kalideres.
Walaupun jadi lama, dan motor gue kotor banget karena jalanan yang becek, tapi
setidaknya gue gak terjebak banjir.
Nah, pagi tadi adalah
malapetaka buat gue.
Awalnya gue udah niat mau berangkat ke kantor via Kalideres,
demi menghindari kemungkinan banjir. Tapi waktu Tulang gue lihat gue mau
berangkat, dia nanya, “Motor lu kok kotor banget sih?”
Gue kemudian jelasin kalau jalan dari Kalideres sampai
Cengkareng itu becek. Jadi tidak mungkin kalau motor bisa tetap bersih setelah
melewati kubangan-kubangan lumpur yang berceceran disana.
“Jangan lewat dari Kalideres, dari Gondrong aja” sarannya
kemudian. Ketahuilah bahwa gue tau jalan tikus via Gondrong ini dari dia.
Sebelum menemukan jalur ‘emas’ Gondrong, gue pergi kekantor melewati Kalideres,
yang menurut dia terlalu jauh memutar.
Emang benar sih.
“Tapi Gondrong masih banjir kayaknya, Lang” sahut gue sambil
memakai helm dan sarung tangan.
“Udah reda pasti itu. Wong kemaren gak hujan seharian kok,
hanya gerimis kecil. Pasti udah reda lah” katanya dengan sangat yakin.
Kemudian, dengan memegang teguh kata-kata paman gue, gue
memacu motor ke kantor melewati jalan Gondrong. Gue pikir, karena dia sudah
lama tinggal disini, pasti dia sudah hapal keadaan sekitar. Gue yakin banget
itu. Lagian, gue malas kalau harus lewat jalur Kalideres, macetnya gak kenal
ampun.
Saat memasuki jalan Gondrong, gue memperhatikan pengendara
motor yang datang dari arah jalan tol yang sedang dibangun, sepatunya pada kering.
Asik, berarti beneran udah reda nih, kata gue dalam hati.
Karena saat itu jalanan sedikit sepi, tidak lama kemudian
gue pun tiba di TPK, yaitu dibawah flyover yang sedang dibangun, yang dua hari
yang lalu tergenang air. Gue perhatikan ada barisan mobil, tapi hanya sedikit
motor. Dan yang pasti, genangan airnya udah surut. Kalau kemaren airnya lebih
tinggi daripada knalpot motor gue, sekarang tingginya dibawah knalpot motor
gue.
Intinya, airnya udah
surut.
Namun begitu, gue harus menyetir dengan sangat lambat,
supaya air genangan itu tidak menciprat dari ban motor gue dan mengenai
pengendara lain. Selain itu, gue juga harus meletakkan kaki di leher motor
supaya tidak terkena cipratan air dari pengendara lain.
Setelah detik-detik menegangkan itu, akhirnya gue bebas dari
jebakan banjir. Gue memacu motor gue
dengan kecepatan tinggi sampai gue menemukan genangan yang serupa dengan yang
sebelumnya. Kembali gue memacu motor dengan kecepatan sangat lambat dan meletakkan
kaki di leher motor.
Setelah pencobaan kedua selesai, gue tenang. Gue pikir semua
masalah banjir ini sudah selesai.
Sampai ketika gue tiba di dekat sungai kecil, di tengah
jalan ada papan yang berisi tulisan yang mengatakan bahwa jembatan
penyeberangan kecil yang disediakan terendam banjir setinggi hampir 1 meter. Sebagai pengendara yang baik, tentunya gue
tidak langsung percaya begitu saja. Gue dan beberapa pengendara sepeda motor
lainnya tetap bertekad untuk membuktikan bahwa tulisan banjir tadi hanya bohong
belaka.
Tapi kemudian kami harus menelan ludah kami karena yang
terpampang didepan kami sungguh sebuah pemandangan yang tragis. Banjir setinggi
pinggang orang dewasa dan anak-anak terlihat bermain bahagia di genangan air yang
berwarna coklat itu. Tidak mungkin untuk melewati genangan air itu.
Putar balik.
Jalan itu tidak bisa dilewatin. Jadi kami semua
mutar balik kearah kami datang tadi. Hanya, gue gak mau kembali melewati 2
genangan air yang membuat gue jinjit diatas motor. Akhirnya gue mencari jalan
lain yang bisa membawa gue ke kantor.
Gue bertanya kepada salah seorang penduduk yang kebetulan
menyaksikan tidakan putar balik yang kami lakukan tadi. Menurut penuturannya,
ada jalan kecil yang bisa dilewati untuk menuju Puri Indah dan bebas banjir.
“Dari sini lurus aja, nanti belok kanan di perumahan itu.
Ikuti aja jalannya, nanti sampai ke Puri” jelasnya sambil menujuk-nujuk arah
jalan.
Gue pikir memang jalannya segampang itu. Belok kanan, masuk
perumahan dan.. simsalabim.. langsung sampai ke Puri Indah. Ternyata jalan yang
gue lalui banyak percabangannya, dan gue gak tau jalan mana yang harus
ditempuh.
Gue berhenti sebentar. Waktu mengamati jalan, gue melihat
ada seorang cewek yang memakai kemeja batik dan celana bahan melintas di depan
gue dengan motor matic-nya. Dari style-nya sih gue yakin dia pasti mau kerja.
Maka gue ikutin dia.
Gue ngerasa seperti dalam sebuah film detektif, dan gue
adalah detektifnya. Gue seperti Conan Edogawa yang sedang menguntit Vermouth secara
diam-diam… di jalan raya.
Kurang hebat apa aksi gue?
Belok kiri, belok kiri, belok kanan, lalu masuk gang kecil,
belok kanan lagi, masuk jalan besar yang banyak mobilnya. Sepertinya jalan yang
dia ambil benar. Gue jadi yakin kalau
dia memang mau kerja.
Sampai pada sebuah jalan kecil, dia kemudian menepikan
motornya disebelah kanan jalan dan mulai bercakap ria dengan seorang wanita yang
sedang menggendong anak. Gue berasumsi bahwa wanita itu adalah ibu si gadis yang
sedang gue untit.
Satu fakta telah terkumpul. Mihihihi… *ketawa kejam*
Eh, Tunggu dulu. Berarti gadis itu sedang tidak menuju
kantor dong? Lah, gue gimana?
Setelah terlepas dari gadis itu, gue terlantung-lantung.
Tanya sana-tanya sini, akhirnya gue sampai juga di Puri Mall. Sedikit lagi dan
gue akan sampai di kantor dan semua kesialan ini akan berakhir.
Hari ini tidak mungkin menjadi lebih buruk kan? Pikir gue
dalam hati.
Tapi kemudian alam menganggap pikiran gue itu sebagai
tantangan. Bukannya membiarkan gue menyetir santai ditengah-tengah kemacetan
Jakarta yang sangat menguji kesabaran, alam malah memberikan hal lain yang
lebih menakutkan.
Jadi waktu itu gue udah hampir sampai kantor. Tinggal satu
perempatan lagi, belok kiri dan gue akan sampai di kantor tercinta. Saat itu
terlihat barisan mobil yang lumayan panjang disebelah kiri jalan. Supaya tidak
terkena macet, gue mengambil jalur tengah yang rada sepi.
Ketika gue hampir mencapai perempatan, lampu menyala merah dan semua
kendaraan berhenti. Hanya pada bagian kiri jalan, di samping barisan mobil
tadi, terlihat pergerakan motor secara perlahan.
Gue lalu mempraktikkan hasil latihan gue selama beberapa
bulan mengendarai sepeda motor di Jakarta: nyelip diantara mobil. Dengan sigap
dan yakin gue selip-sana-selip-sini untuk dapat sampai pada bagian kiri jalan
yang bisa dilalui sepeda motor tanpa harus terjebak macet.
Pada saat gue melakukan ‘selip’ teakhir itulah kesialan itu
terjadi.
Disamping gue ada mobil avanza silver yang sedang berhenti
karena macet. Didepannya juga ada avanza warna hitam yang sedang berhenti, juga
karena macet. Diantara kediua avanza itu, ada space yang cukup untuk diselipin
sepeda motor. Kesitulah gue memacu motor dengan perlahan. Gue pasang lampu sign ke arah kiri. Saat setelah gue
sampai di space itu, gue belok kiri. Tepat setelah ban motor depan gue melewati
mobil avanza silver , gue lihat motor gede melaju dengan cepat dari sebelah
kiri mobil avanza silver itu kearah gue.
Gue gak sempat bereaksi, hanya mulut gue yang menganga lebar
saat itu dan tiba-tiba…
BRAAAK!!
Motor gede itu menghantam bagian depan motor gue.
Bagian depan motor gue terdorong keras kearah kanan dan badan
gue terjembab kearah mobil avanza hitam disamping gue. Gue menjerit kesakitan
karena merasakan sakit di bahu sebelah kanan gue. Sementara yang menabrak motor
gue terjatuh dengan keras kearah kiri, menghantam trotoar dengan badannya.
Tak sempat mengurusi sakit, gue langsung menstabilkan posisi
sepeda motor yang saat itu bersandar ke avanza hitam. Setelah posisi gue stabil,
gue langsung membantu penabrak gue yang saat itu masih tersungkur di tanah. Keadaannya
sangat buruk. Bahkan selama beberapa saat, dia hanya tersungkur ditanah dan
tidak bangkit lagi. Tapi gue tau kalau dia masih hidup.
Ternyata kaki kirinya terjepit motor gede yang menimpanya.
Gue langsung pasang standar motor gue dan menghampirinya.
Gue bantu mengangkat motornya tapi terlalu berat. Gue menghimpun tenaga dan mencoba
mengangkatnya lagi. Kali ini berhasil.
Setelah motornya gue berdirikan, dia lalu bangkit sambil
terpincang.
Gue yang memang belum pernah mengalami tabrakan atau jatuh
dari motor sebelumnya merasa takut setengah mati. Ditambah lagi penabrak gue
berbadan gede dan memakai jaket hitam, menambah rasa takut gue.
“Ma.. maaf mas. Gak sengaja” ucap gue terbata-bata. Saat itu
lutut gue gemetar karena takut, terkejut dan lemas. Sebuah kombinasi yang tidak baik.
Saat itu gue mengharapkan sebuah pukulan atas kecelakaan
yang (sepertinya) gue sebabkan, dan gue udah mempersiapkan badan gue untuk
menerima rasa sakit dari pukulan yang akan dia beri. Tapi ternyata respon yang
gue terima sangat berbeda dari yang gue bayangkan.
“Bukan. Gue yang minta maaf mas karena ngebut dijalan kecil”
katanya sambil mengarahkan tangannya, ingin berjabat dengan gue.
Menerima respon yang demikian, gue langsung lega, walau
masih gemeteran.
Gue kembali ke motor gue dan siap melanjutkan perjalanan.
Sementara dibelakang gue sudah banyak antrian sepeda motor yang melihat
kejadian tadi. Tapi, karena saat itu motor si penabrak gue berada di depan gue,
gue menunggu dia untuk maju duluan.
Lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau, tetapi dia
belum juga memacu motornya. Dengan tertatih dia menuntun motornya menepi ke
sisi trotoar dan mempersilahkan gue maju.
“Sekali lagi, maaf mas” kata gue saat melewatinya. Gue ingin segera cepat-cepat berlalu dari tempat itu dan melupakan semuanya.
Dia hanya melambaikan tangannya sambil mengecek kerusakan
motornya yang lebih mahal dibandingkan motor butut gue.
Tapi kemudian, gue trauma. Akibat kejadian itu, gue menyetir motor ke kantor dengan
sangat lambat. Kaca spion sebelah kiri gue udah gak berbentuk dan gue masih
gemeteran.
Gue shock.
Pagi hari yang buruk untuk menuju ke kantor, ujar gue dalam hati.
---
Terimakasih alam, atas tantangannya.