29/05/14

Tolong buka Waslap-nya

Pada suatu petang yang indah di rumah...

Duduklah aku dan Tulangku di ruang tengah, sedang mengutuk kedua tipi kami yang meletup dalam waktu bersamaan sehingga kami tidak bisa menonton. Sedang asik-asiknya membaca, Tulangku memanggilku.

"Tolong buka dulu Waslap-nya hape ini" ujar Tulangkiu sambil menyodorkan hapenya ke arahku.

Aku bengong, tidak mengerti apa yang dimaksud. "Apa, Lang?" tanyaku memastikan.

"Waslap.. Waslap.." ulangnya dengan suara kencang.

"Apa Waslap, Lang?" tanyaku masih tidak tau.

"Ini loh, yang warna hijau ini" katanya sambil menunjuk sebuah icon berwarna hijau di hapenya.

Akupun melihat icon yang ditunjuk olehnya. "Oh, itu namanya Whatsapp, Lang. Bukan Waslap" kataku mengoreksi.

Bukannya bilang terimakasih karena sudah aku koreksi, Tulangku malah bilang, "Sama aja lah itu. Itu aja pun kau gak tau. Bodoh kali!"

I was like, "What the hell?!"

21/05/14

Kejadian absurd di kantor

Hari ini dikantor ada 2 kejadian paling absurd yang pernah aku alami selama aku bekerja disana.

Kedua kejadian tersebut cukup membuat aku tertawa terbahak selama beberapa menit.

Dasar konyol.

Kejadian yang pertama adalah kejadian yang sedikit misterius. Sampai sekarang aku belum bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Waktu itu kira-kira jam 10 pagi dan semua orang yang ada dikantor sedang sibuk bekerja di kubikel masing-masing. Aku juga saat itu sedang sibuk me-review sebuah dokumen milik sebuah bank swasta di Indonesia, bilang saja Bank B. Dimeja sebelah kiri ada laptop yang sedang membuka aplikasi pengolah kata, sementara di depan ada PC yang sedang menampilkan aplikasi TweetCaster. Bukannya apa-apa, aku hanya mau bilang kalau aku lebih fokus ke layar PC dibandingkan ke layar laptop.

Kubikelku terletak di lantai 3, bersama dengan beberapa orang karyawan juga. Biasanya jam segitu lagi hening-heningnya dikantor. Disaat yang tidak diharapkan, tiba-tiba hapeku berdering kencang, menandakan ada telepon masuk.

Sial, aku lupa mengaturnya kedalam mode Hening tadi pagi.

Dengan tergesa-gesa aku ambil hapeku dari kantong celana dan melihat layar hape untuk mencari tau siapa yang menelepon.

Ternyata yang sedang menelepon adalah nomor baru yang belum tersimpan di memori hape.

Dan nomornya dimulai dengan nomor 021. Berarti ini telepon kantor wilayah Jakarta.

Sebelum mengangkat, aku mengingat-ingat, apa aku ada janji dengan seseorang sebelumnya? Karena aku tau betul, tidak ada satupun temanku yang pernah (dan akan) meneleponku dengan telepon kantor. Tidak juga dengan keluargaku yang tinggal di Jabodetabek.

Jadi, siapa yang sedang menelepon?

Hanya ada dua kemungkinan: ini adalah telepon dari perusahaan tempat aku pernah mengajukan lowongan kerja atau ini adalah telepon dari JNE, soalnya kemaren aku baru kirim paket ke Palembang dengan menggunakan JNE.

Aku menjawab telepon itu dengan perasaan sedikit bingung dan penasaran.

“Selamat pagi” kata suara dari seberang sana. Suara seorang wanita. Suaranya enak didengar.

“Iya, pagi” sahutku masih kebingungan. “Ini dengan siapa ya?”

“Ini dengan Mawar Melati (nama disamarkan – red) dari Bank B cabang X” dia menjelaskan. “Bisa bicara dengan Bapak A?”

Bapak A adalah General Manager ditempatku bekerja dan Bank B adalah bank yang saat ini sedang berurusan dengan perusahaan kami dalam sebuah proyek. Bahkan pada saat itu aku sedang mengerjakan salah satu dokumen untuk Bank B ini.

Mendengar oknum-oknum yang terlibat, aku langsung berasumsi bahwa ini adalah telepon super penting.

Eh, tunggu dulu…

Kalau ini telepon yang super penting, kenapa Bank B malah menelepon aku? Ke hape lagi. Padahal dimejaku ada telepon kantor.

Ada yang tidak beres disini, pikirku.

Tapi, mengingat perusahaan kami sedang mencoba untuk menyelesaikan sebuah tender di Bank B, aku kesampingkan pikiranku yang aneh itu.

“Iya, mbak. Ini saya dengan Arga, asistennya Bapak A” jawabku berbohong.

Jelas berbohong. Aku bukan asisten General Manager. Aku hanya staff biasa. Tapi aku memilih untuk mengatakan bahwa aku adalah asisten General Manager supaya perwakilan Bank B yang sedang menelepon aku merasa diberi perhatian lebih oleh perusahaanku dengan memberikan akses langsung ke asisten General Manager. Ini untuk memberikan kesan bisnis yang baik. I’ve learnt it the hard way.

“Boleh saya bicara dengan Bapak A?” tanya wanita diseberang telepon.

“Wah, ada apa ya? Beliau lagi sibuk, Mbak” jawabku asal. Padahal meja Bapak A ada dilantai 2, sementara aku menjawab telepon di lantai 3. jadi aku tidak tau sebenarnya Bpak A itu sedang apa. Tapi bukan General Manager namanya kalau tidak sibuk.

“Saya ingin menanyakan sesuatu mengenai pelayanan bank kami, Pak.”

“OK. Sebentar ya, Mba. Akan saya beritahu beliau” jawabku sambil jalan turun ke lantai 2.

Saat tiba di meja General Manager, aku lihat beliau lagi sibuk… makan kacang tanah #BUMMER.

Aku tekan Mute pada hapeku dan mulai bicara kepada Bapak A.

“Pak, ada telepon dari Bank B cabang X. Katanya mau menanyakan tentang pelayanan gitu, Pak.” Sahutku ke Bapak B.

“Oh, ya? Tentang apa ya?” tanyanya kebingungan.

“Wah, saya juga tidak tau, Pak. Pokoknya dia mau bicara dengan Bapak” jawabku menegaskan.

“Sambungkan saja ke extension saya” katanya sambil mengupas kacang tanah.

“Umm.. teleponnya ke hape saya, Pak” jawabku sambil menunjuk hapeku.

“Loh, kok bisa?” dia makin kebingungan.

“Itu juga yang saya bingung, Pak. Tapi karena ini telepon atas nama Bank B, maka saya jawab, Pak. Mungkin saja ada untuk urusan proyek” tuturku panjang lebar.

Bapak A sedikit ragu.

Si Mbak dari Bank B pasti sudah jamuran menunggu.

“Kita tidak pernah ada proyek di Bank B cabang X loh” katanya kemudian.

Aku hanya cengok.

Supervisorku yang kebetulan duduk disamping Bapak A juga mengernyitkan keningnya. Bingung.

“Penipuan pasti nih” kata supervisorku.

Kami semua bertatapan.

Atas pertimbangan yang tidak matang, akhirnya Bapak A menerima telepon itu.

“Iya, halo..”

“Iya.. saya Bapak A”

“Tapi ini bukan nomor saya, Mbak.”

“Oh, baik.”

“Sejauh ini sih tidak ada masalah.”

“Iya.”

“Iya.”

“Baik.”

“Iya baik.”

Blablabla..

Satu menit berikutnya diisi dengan jawaban “Iya, baik” atau “Tidak ada masalah” dari Manager gue. Setelah itu, dia memutuskan hubungan dan menyerahkan hapeku kembali.

Aku menerima hapeku dan berdiri mematung disana. Menanti penjelasan atas peristiwa yang baru saja terjadi.

“Oh, itu..” katanya memulai penjelasan. “Saya pernah dulu banget transaksi di Bank B cabang X. Tapi itu dulu banget. Hanya sekali. Gak tau kenapa mereka baru telepon sekarang menanyakan palayanan mereka.”

“Dulu banget-nya itu kapan, Pak?” tanyaku memastikan.

“Hampir 3 tahun yang lalu kayaknya” jawabnya menerka-nerka.

“3 tahun yang lalu kan kita belum saling kenal, Pak?! Saya kerja diperusahaan ini baru 2 tahun. Gimana ceritanya mereka mencari Bapak melalui NOMOR HAPE saya?” tanyaku dengan kondisi mata membelalak, tidak percaya atas kejadian absurd yang baru terjadi.

“Wah, saya tidak tau” jawabnya sambil mengangkat bahu tanda tidak tau.”Pokoknya, kalau mereka minta nomor hape saya, jangan dikasih ya.”

“I–ini gimana ceritanya sih?” tanyaku pada diri sendiri.

Sampai saat tulisan ini diturunkan, aku, Bapak A dan supervisorku masih belum tau bagaimana ceritanya Bank B cabang X bisa menelepon hapeku untuk mencari Bapak A.

Tau darimana Bank B cabang X bahwa aku dan Bapak A satu kantor?

Dan yang lebih penting lagi, tau darimana Bank B cabang X nomor hapeku?

Ini adalah pertanyaan yang masih belum bisa terjawab.

Sambil merenungi kejadia yang terjadi tadi, akhirnya tibalah waktunya makan malam. Aku dan beberapa teman kerja sedang lembur mengerjakan sebuah proyek Bank I. jadi, dikantor kami ada aturan. Kalau lembur diatas jam 7 malam, kami akan dapat makan malam gratis dari perusahaan dengan biaya makan maksimal sekian puluh ribu. Menu bisa apa saja, yang penting masih dalam range yang ditentukan.

Malam-malam sebelumnya kami sudah memesan KFC, PHD, D’Cost, dll. Kebetulan malam ini kami memilih untuk memesan delivery Chiz n Chic, sebuah restoran yang agak terkenal di kawasan Binus.

Ditengah kesibukan mengerjakan dokumen, aku memilih menu Tenderloin Steak Extra Keju dengan saos Blackpepper.

Disinilah kejadian kedua berlangsung.

Setelah menunggu kurang-lebih 30 menit, akhirnya pesanan kami sampai. Pesanankku sendiri dikemas dalam kotak stirofoam warna putih.

Aku membuka pesananku dengan perasaan lapar. Ada French fries disubkotak kecil sebelah kanan, tenderloin steak di subkotak paling gede ditengah, ada sayuran cincang di subkotak lainnya. Ada saos yang dibungkus terpisah, bersama dengan keju dan saos blackpepper pesananku. Dan ada juga sendok makan yang terbuat dari bahan plastik.

Aku lihat-lihat lagi dibagian bawah kotak, mungkin ada yang keselip.

Tapi ternyata tidak ada. Hanya itu saja.

Lalu aku tanya sama orang yang menerima pesanan tadi, “Tadi waktu delivery-nya datang, gak dikasih pisau ya?”

“Enggak” jawabnya.

“TRUS INI GIMANA CARA MAKAN STEAK PAKE SENDOK PLASTIK???” tanyaku tidak percaya.

Yang ditanya malah tertawa kencang. Sompret!!

Ini gimana ceritanya sih disuruh makan steak pake sendok plastik? Pasti ini ngajak bercanda.

Karena tidak ada pilihan lain, aku coba juga makan steak-nya pake sendok plastik yang disediakan. Hasilnya? Sendoknya putus sementara steaknya tidak ternoda sedikitpun.

Ini delivery paling fail yang pernah gue alami.

Untung gue ingat, bulan lalu ada yang ultah dikantor pakai cake gitu. Kalau aku tidak salah, roti pemotong kue-nye masih ada sisa. Dengan penuh harapan, aku buka lemari pernak-pernik dikantorku dan dengan bangga menemukan pisau plastik bening didalamnya.

Jadi aku menghabiskan steak-ku dengan pisau roti dan sendok plastik yang sudah patah.

Bayangkan betapa besarnya perjuanganku untuk memakan steak yang sudah tidak panas itu.

Moral of the story (as I tweeted this evening): Jangan pernah pesan steak untuk menu delivery. Selain daginnya akan menjadi alot karena sudah dingin, gak dikasih pisau juga. Masa makan steak pake sendok plastic? Emangnya Limbad?

A friend in need is a friend indeed - a note from Bali


 Penerbanganku dari Jakarta ke Bali berlangsung lancar.

Aku tidak tau apa yang terjadi, tetapi tiba-tiba pesawat yang kutumpangi sudah mendarat di bandara Ngurah Rai. Oh well, aku tau benar apa yang terjadi. Aku tertidur selama penerbangan. Maklum, golongan darahku AB.

Begitu aku keluar dari gedung bandara, temanku melambaikan tangannya memanggilku.

Namanya Prima Kedoh. Seorang pria seukuranku tapi dengan badan yang lebih tegap dan berasal dari Papua. Pertama kali aku bertemu dengannya di Bandung. Waktu itu adalah tahun terakhir masa kuliahku, sementara dia baru datang langsung dari Papua untuk belajar intensif di Ganesha Operation yang ada di jalan Sumatera, Bandung dalam rangka persiapan SNMPTN. Entah bagaimana ceritanya, mungkin ini konspirasi alam, dia akhirnya ngekos bareng kelompokku. Jadi kami sering nonton bareng, karokean bareng, menggila bareng dll. Tentu saja dia lebih muda daripada aku. Ya, kalimat terakhir tidak kontekstual.

Dulu, kami sering menggodanya dengan menyanyikan lagu Edo Kondologit yang berjudul Aku Papua.

"Hitam kulit, keriting rambut. Aku Papuaaa~"

karena memang kulitnya hitam manis, dan rambutnya ikal tak beraturan.

Namun dibalik itu semua, dia orang yang sangat baik, berbudi pekerti halus dan terpelajar. Pada saat dia keterima SNMPTN di UNUD, kami bahkan sempat membuat video message sebagai ucapan perpisahan.

Kami sangat dekat dulu.

Karena itulah aku berani memintanya memintanya untuk menjadi host-ku selama liburanku di Bali.

"Lama sekali, Bang? Aku udah nungguin dua jam ini" katanya sesaat setelah kami bersalaman. Walaupun sedikit kesal, tapi tidak ada nada menuduh atau menyalahkan dalam suaranya.

"Maaf, Doh. Delay tadi." Jawabku sambil meminta maaf. Biasanya orang memanggil dia Prima. Tapi entah kenapa, aku lebih suka memanggilnya Kedoh.

Kami berjalan beriringan ke tempat dia memarkir motornya. Saat itu sudah pukul 11 malam dan aku tau dia sedang kelelahan karena seharian kuliah. Tapi dia masih bisa tersenyum begitu melihatku dan rela menghabisakan waktunya, yang seharusnya dia pakai untuk belajar, untuk menjemputku. Dia bahkan rela manahan kantuk demi tidak mengecewakan aku.

Another angel in disguise.

Aku benar-benar takjub akan hal itu. Seorang keturunan Papua sedang menjemput seorang keturunan Batak di pulau Bali.

Err.. setelah ditulis, kok jadi biasa aja ya?

Setelah tiba di tempat dia memarkirkan motornya, kami langsung berangkat menuju kosan-nya di wilayah kampus UNUD. Dia kelelahan dan aku pun kelelahan. Sejak berangkat dari kantor tadi, kerjaanku hanya duduk saja, di motor, di ruang tunggu, di dalam pesawat dan sekarang di motor lagi. Capek.

Tapi, seperti pepatah dari negeri seberang mengatakan:

A FRIEND IN NEED IS A FRIEND INDEED.

Aku aminkan pepatah itu.

Prima Kedoh benar-benar seorang teman yang bisa diandalkan.

Setibanya dikosannya, dia menawarkan aku untuk tidur dikasurnya sementara dia tidur dilantai dengan menggunakan kasur lipat. Padahal aku sudah bersikeras bahwa aku akan senang tidur dibawah, tapi dia malah mengacuhkanku. Sama-sama keras kepala. Akhirnya aku mengalah, aku tidur diatas kasurnya, sementara dia tidur di lantai. #eh

Tidak hanya itu saja. Entah kenapa, aku merasa dia terlalu baik. Selama beberapa hari di Bali, banyak sekali bantuan yang aku terima dari dia.

Dia menawarkan aku untuk menggunakan sepeda motornya selama aku di Bali, yang langsung aku tolak karena dia membutuhkannya untuk pergi ke kampus. Eh, sebenarnya ada alasan lain sih, aku tidak bisa mengendarai motor kopling, jadi aku tolak.

Dia membawa aku ketempat rental motor, membantu menawar harga sewa motor (walau tak berhasil), dan mengantarkan aku lagi untuk mengembalikan motor sewaan itu.

Dia mengantarkanku mencari oleh-oleh keliling Bali, mulai dari Pasar Sukawati sampai Joger.

Dia membelikanku obat anti bakteri ketika aku kecelakaan terkena karang sewaktu snorkeling di Blue Lagoon.

Dia menunjukkanku makanan 'wajib coba' khas bali dan mengantarkanku ke lokasi makanan itu. Lalu kami makan bareng deh.

Dia memberitahu cara masuk GWK gratis dan kami pun mempraktekkannya. Lumayan irit sekian ratus ribu.

Masih banyak bantuan lainnya yang aku lupa tiap detilnya. Sampai akhirnya dia mengantarkanku lagi ke bandara Ngurah Rai ketika aku akan kembali ke Jakarta.

Sementara aku hanya bisa membelikannya sekotak brownies Amanda rasa cokelat buatan Jakarta.

Aku percaya, ada waktunya untuk aku membalas kebaikannya nanti. Untuk sekarang, biarlah itu menjadi kenangan yang tertuang di blog ini.

---
PS: Sebenarnya awalnya aku ingin menulis tentang hari pertama di Bali. Tapi seiring dengan jalan cerita, tokoh Prima Kedoh terlalu baik untuk dilewatkan begitu saja. Akhirnya aku membuat post ini untuk mengenang kebaikannya bagiku selama di Bali. Juga kepada Imelda, yang menemani perjalananku di Bali bersama Kedoh. Terimakasih juga untukmu.

Berikut fotonya:

Sewaktu di Bandung. Kedoh pake Jaket biru.

Aku dan Kedoh di Bali Timur. Jaket birunya eksis.

Aku dan Kedoh di Sukawati. Masih ada jaket biru!

Kedoh dan Imelda, pasangan yang paling serasi :)

20/05/14

Go to Bali: A Bummer Start

Hari ini adalah hari keberangkatanku ke Bali dalam rangka solo traveling pertama kali.

Keberangkatanku kebandara untuk pergi ke Bali diwarnai sedikit masalah. Oh well, mungkin bisa juga dibilang drama, karena ada kejadian yang mengundang emosi didalamnya.

Setelah aku memberikan surat cuti kepada atasanku beberapa hari yang lalu, aku bingung tentang bagaimana aku berangkat ke bandara. Ada banyak pilihan, tapi tidak ada yang menyenangkan. Sementara aku sudah membawa backpack ke kantor, yang diisi dengan snorkel gear, pakaian ganti dan 2 kotak Brownies Amanda rasa coklat untuk temanku di Bali, teman yang telah mengijinkan aku untuk tinggal dikosnya selama beberapa hari.

Aku adalah orang yang tau cara berterimakasih.

Jadwal awal penerbanganku seharusnya pukul 20.30. Sengaja aku memilih terbang malam supaya aku bisa berangkat setelah pulang kerja dari kantor. Tapi, beberapa bulan sebelum keberangkatan, Airasia mengirimkan email mengenai informasi perubahan jadwal penerbangan pesawat yang akan aku gunakan, dari yang awalnya pukul 20.10 WIB menjadi 19.00 WIB.

Aku panik. Bisakah aku sampai di bandara tepat waktu? Gate akan ditutup pukul 18:45. Sementara aku pulang kerja pukul 5 tepat. Hanya ada 90 menit untuk keluar dari kantor, pergi ke bandara dan makan malam. Memang sih tempat kerjaku di Jakarta Barat, tapi dengan pilihan transportasi yang minim, aku pantas untuk waswas.

Awalnya aku berencana untuk menggunakan sepeda motorku langsung dari kantor dan menitipkannya di bandara selama enam hari. Setelah mencari info tentang penitipan kendaraan bermotor di Bandara Soekarno-Hatta, aku mengurungkan niatku. Bukan apa-apa, hanya saja tarifnya terlalu mahal. Lagian, aku khawatir aku tidak bisa mengambilnya pada hari aku kembali ke Jakarta, karena penerbangan kembaliku adalah Bali-Bandung. Jadi aku batalkan rencana naik motor ke bandara.

Sempat juga terlintas pikiran untuk menggunakan Damri dari pintu tol Slipi. Aku sering mendengar cerita ada orang yang berhasil sampai ke bandara dengan menggunakan bus Damri yang melewati Slipi. Tapi kembali kuurungkan niatku mengingat jadwal keberangkatan bus Damri yang tidak menentu dan kemungkinan macet kearah bandara.

Pilihan yang tersisa hanya menggunakan taksi, yang aku taksir akan mahal.

Saat aku ceritakan masalahku dengan teman sekantorku, tiba-tiba dia memberikan solusi yang tidak terpikirkan sebelumnya. Dia menawarkan untuk mengantarkanku ke bandara dengan menggunakan sepeda motornya. Kebetulan rumahnya berada di daerah Kota Bumi yang berada dekat bandara. Inilah salah satu keuntungan berteman.

Saat itu aku merasa dia seperti angel in disguise.

“Tapi bisa sampai bandara jam 6 kan?” tanyaku memastikan.

“Bisa!” jawabnya pasti.

Tentu saja aku senang mendengar tawarannya. Hanya saja, dia berkata, “Tapi kalau pulang dari Bali, bawa kacang disco ya” sembari bercanda. Canda yang membuat aku tertawa kecut. Walaupun dia hanya bercanda, namun dengan kondisi aku berhutang seperti itu, mau tidak mau, aku harus membawakan kacang disco untuk dia. Itung-itung bayar utang. Impas.

Aku sudah kasihtau kan kalau aku tau cara berterimakasih?!

Dalam hati aku berpikir, ini adalah adalah hubungan pertemanan yang berharga. Ada ‘harga’ didalamnya.

Tepat pukul 5 sore, aku dan temanku sign out dari kantor dan langsung menuju bandara.

Dia memacu motor dengan kecepatan tinggi, sampai ketika kami tiba di Mall Puri Indah, hal yang sangat tidak aku inginkan terjadi.

Jalanan macet.

Dan macet paraaaaah.

Di depan kami terlihat antrian panjang kendaraan, dari mulai sepeda motor sampai truk yang sangat besar. Suara klakson terdengar dari segala arah, menambah riuh perjalanan ini. Sepeda motor menyalip setiap celah yang ada untuk menembus barisan kendaraan yang berhenti total. Tapi tetap saja, kami terperangkap di tengah macet.

Setelah bersusah payah keluar dari kelitan macet, 15 menit kemudian kami sudah berada di jalur besar satu arah yang bebas macet.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 17:30, dan kami masih belum beranjak dari kawasan Puri Indah.

Entah bagaimana nasibku nanti. Masa iya aku harus kembali kerumah dengan membawa backpack dan mengatakan kepada orang rumah, “ban pesawatnya kempes dan pompanya rusak, jadi gak bisa berangkat ke Bali”.

Kan gak lucu!!

Saat-saat terjepit seperti itu adalah saat-saat dimana orang teringat akan Tuhan. Tak terkecuali dengan aku. Dalam keadaan genting dan terjepit, aku langsung memanjatkan doa yang agak memaksa kepada Tuhan, memohon supaya secara ajaib macet itu terurai dan kami tiba dengan tepat waktu di bandara.

Tapi, DIA itu Tuhan. DIA tidak bekerja dengan cara kita.

Macet masih berlanjut dan kami hanya bisa mengulat sampai perempatan Cengkareng. Dan aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan.

Sampai di perempatan Cengkareng pukul 17:45 sore. Macet benar-benar parah sampai-sampai kami harus berhenti selama lebih dari 10 menit menanti macet berurai. Mentok.

Tempat yang sama, waktu yang berbeda, dengan kondisi macet yang sama

Pukul 6 lewat sedikit baru kami masuk jalan Daan Mogot kearah Tangerang.

Temanku memacu motornya dengan kecepatan agak tinggi. Berkelit ke kanan dan ke kiri, menembus celah sempit diantara mobil, bus, angkot dan truk demi mengantarkanku tepat waktu. Dia tau dia sudah berjanji untuk tidak membuatku terlambat, dan sekarang dia sedang menggenapi janjinya.

Aku sangat menghargai dia akan hal itu.

Macet kembali menghadang ketika kami tiba di terminal Kali Deres. Tidak begitu parah, tapi tetap saja menghambat perjalanan kami. Saat itu sudah pukul 18:20. Hanya 25 menit lagi sebelum gate ditutup.

Dengan harapan yang semakin lama semakin menipis, aku duduk dengan gelisah diboncengan motor temanku.

Will I make it?

Will I make it? 

Pertanyaan itu terucap berulang-ulang dalam pikiranku. Sedikit kalut karena waktu yang tersisa tidak banyak lagi. Dan sedikit lega karena akhirnya kami terbebas dari macet.

Dalam kekalutanku, secara tidak sengaja aku mengeluh tentang buruknya penanganan transportasi darat di Jakarta. Macet adalah makanan sehari-hari. Tapi bukan berarti bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada yang segera bertindak. For a better Jakarta.

Kembali ke motor yang sedang kutumpangi.

Setelah lepas dari jeratan macet yang mematikan itu, temanku sekali lagi memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Kali ini dengan lebih cepat dari sebelumnya. Untungnya, jalanan setelah lewat terminal Kali Deres, jalanan langsung lancar.

Long story short, kami tiba di Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta pada saat injury time. Motor kami tiba di gate depan gedung bandara pada pukul 18:45. Segera setelah aku turun dari motor, aku mengucapkan terimakasih dan berlari ke gedung terminal. Memasuki pos pemeriksaan dengan tergesa-gesa dan langsung menuju counter pembayaran pajak bandara (or whatever they call it).

Selesai membayar pajak, tanpa liat ke kanan dan ke kiri, aku lanjutkan berlari ke waiting room penerbangan domestik. Aku yakin pitu pesawatnya belum ditutup dan aku akan berhasil masuk kedalam pesawa dan terbang ke Bali.

Antiklimasknya adalah: ternyata penerbanganku ditunda selama sejam. Aku terlalu sibuk berlari sehingga mengacuhkan informasi yang terpampang didepan mata.

BUMMER!!!

*garuk-garuk information board*

Antara bersyukur karena masih punya waktu istirahat dan makan malam sebelum terbang atau kesal karena luapan emosi yang terjadi dalam perjalanan ke bandara tadi.

Sigh~

Well, setidaknya aku punya kisah yang worth-mentionable dalam perjalananku ke bandara.

Ketika sedangg menuju ke Circle K yang ada di Ground Floor di gedung Terminal 3, aku mengirimkan SMS kepada temanku di Bali mengenai penerbanganku yang kena delay. Sambil memakan Pop Mie yang masih panas, aku merenungkan perjalanan singkat dari kantor ke bandara yang baru saja aku lewati. Sedikit konyol karena aku terlalu khawatir. Tapi cukup berkesan untuk dijadikan pemompa semangat liburan kali ini. Kalau di awalnya saja sudah cukup menantang seperti ini, aku yakin pasti sisa liburannya akan lebih seru dan menyenangkan.

Aku yakin itu.

Pasti!!.

*mulai ragu*

Ketika akhirnya aku sampai di waiting room, petugas AirAsia mengabarkan bahwa karena delay, penumpang akan dibagikan makan malam, padahal aku baru saja menyantap pop mie yang paling mahal yang pernah aku beli.
Makan malam dari AirAsia


Double bummer!!

19/05/14

Rencana Solo Trip ke Bali

Akhirnya niatku untuk berlibur ke Bali kesampaian juga.

Sebenarnya niat itu tidak terlalu besar. Bahkan Bali tidak termasuk dalam salah satu tempat wisata di dalam bucket list-ku. Tetapi, karena Bali merupakan sebuah ikon pariwisata yang sangat terkenal, bahkan lebih terkenal daripada Indonesia, maka tidak ada salahnya kalau aku berlibur ke Bali. Toh yang namanya berlibur tidak melulu mengenai tempat, tapi bisa juga mengenai pelakunya. Begitu pikirku.

Dan ketika maskapai Airasia mengadakan promo besar-besaran, aku pun mulai mencari tiket murah ke Bali. Sengaja aku begadang malam itu, karena memang promonya berlaku mulai dini hari. Tapi apa lacur, saat jam 2 subuh aku akan melakukan pembelian tiket, website Airasia tidak bisa dibuka dengan alasan ‘server down’. Ternyata tidak hanya aku yang memiliki ide cemerlang untuk membeli tiket promo, semua orang di Indonesia juga demikian. Terbukti ketika aku membuka akun Twitter Airasia Indonesia, aku melihat banyak terstimoni dari orang yang sudah mendapatkan tiket gratis dan murah ke berbagai tujuan.

Melihat testimoni mereka, aku semakin semangat. Tanggal sudah ditentukan. Dana sudah disiapkan. Tapi, sampai jam 3 subuh, tidak ada tanda-tanda bahwa proses booking tiket ini akan berhasil. Server masih saja down.

Kecapaian menunggu, akhirnya aku tertidur di depan laptop.

Ketika pukul 5:30 pagi aku dibangunkan oleh alarm, tanpa pikir panjang aku langsung membuka website Airasia dan mencari penerbangan lagi. Syukurlah pagi itu servernya sudah tidak bermasalah. Setelah mencari-cari, aku mendapat tiket promo Jakarta-Bali dengan harga yang lumayan murah. Sialnya, saat ingin mencari tiket pulang, aku tidak mendapat tiket promo lagi, yang ada malah mahal.

Alternatif lain, aku mencari penerbangan Bali-Bandung.

Untunglah masih ada promo yang tersisa. Setelah melakukan proses booking dan pembayaran online, akhirnya resmi aku akan berangkat ke Bali beberapa bulan kedepan.

Rasa kantuk akibat kurang tidur hilang seketika. Ketika sedang mandi, aku sudah memikirkan berbagai pantai yang akan aku temui disana. Aku sudah membayangkan diriku memakai celana pantai berwarna biru motif bunga warna putih polos tanpa mengenakan atasan, berlarian disepanjang pantai sambil tertawa bahagia. Di bibir pantai, terlihat bule-bule sedang berjemur dibawah payung coca-cola dengan pakaian mereka yang sangat  minim. Sementara matahari bersinar dengan cerah.

Liburan yang menyenangkan!!

Kemudian semua bayangan itu berganti dengan kenyataan bahwa aku harus bekerja mencari dana untuk digunakan liburan nanti.
***
Sudah 9 bulan berlalu sejak aku membeli tiket promo ke Bali. Keberangkatanku ke Bali tinggal hitung hari saja. Sembilan bulan seharusnya cukup untuk menghasilkan seorang anak, namun demikian, persiapanku masih sangat minim. Satu-satunya yang sudah kulakukan saat itu adalah, menghubungi kenalanku yang kuliah di Bali dan mengabarkan kepadanya bahwa aku akan menginap di kosannya selama berkunjung ka Bali. Dan dia meng-iya-kan begitu saja.

Sementara itu, itinerary belum disiapkan.

Aku bahkan tidak tau harus kemana saja ketika di Bali nanti.

Ini adalah pertama kalinya aku akan mengadakan solo traveling. Entah bagaimana aku nanti disana. Apakah aku bisa bertahan? Kalau kata temanku yang sudah sering melakukan solo traveling, “selama masih bisa berbahasa Indonesia, pasti akan tetap hiduplah.”

Entah kenapa, kata-katanya itu tidak terlalu menghibur.

Aku yang kebingungan lalu menanyakan tujuan wisata yang ‘wajib’ dikunjungi selama di Bali di Twitter. Respon yang aku terima adalah, diving di Lembongan dan snorkeling di Karma Kandara (atau dikenal juga dengan Nammos Beach).

Penampakan Pantai Karma Kandara dari hasil pencarian Internet (source: here)

Setelah melakukan pencarian singkat tentang kedua tempat itu di Google, aku pun setuju.

Baiklah, 2 tujuan sudah ada.

Aku kemudian mencari dan mencari lagi kegiatan menyenangkan yang bisa dilakukan di Bali, sekaligus merencanakan itin.

Pada saat itu, salah seorang temanku mengatakan bahwa maskapai Merpati sedang mengadakan promo ke berbagai tujuan. Aku langsung membeli satu tiket penerbangan Lombok-Bali. Setelah kunjunganku ke Lombok bulan Mei lalu, aku memang sudah memastikan untuk mengunjungi tempat ini lagi. Terlalu banyak tempat eksotis yang belum sempat aku datangi.

Aku juga sudah membeli paket Parasailing di Tanjung Benoa.

Selain itu, aku juga sudah bertandang ke forum-forum perjalanan di Facebook mengenai trik dan tips saat traveling ke Bali dan Lombok.

Dan beberapa hari sebelum keberangkatan, aku sudah memiliki itinerary yang menurutku cukup ciamik.

H1 (Keliling Bali Selatan)
-          Menikmati sunrise di Sanur (note: sunrise pukul 5.30 pagi)
-          Mengunjungi Pantai Penyu di Pulau Serangan
-          Makan Siang di Jimbaran (note: beli ikan mentah, kalau bisa Red Snapper, di pasar ikan Kedongan, lalu minta dibakarkan ditempat)
-          Mengunjungi Pantai Padang-Padang atau Karma Kandara
-          Menikmati sunset di Suluban
-          Night life at Kuta

H2 – Menikmati Tari Kecak di GWK dan Uluwatu, selebihnya menyesuaikan (bisa ke Tanjung Benoa atau kemanalah)

H3 – Menyusuri Bali Timur (Sukawati, Pura Besakih dan Tanah Lot), malamnya nyebrang ke Lombok pakai Ferry

H4 – Snorkeling di Lombok (Pantai Tangsi dan Tanjung Ringgit)

H5 – Cari oleh-oleh di Desa Sade dan siangnya kembali ke Bali pakai Merpati

H6 – Cari oleh-oleh di Bali dan kembali Ke Jakarta

Itu adalah itin yang paling bagus yang bisa aku susun. Aku tau, masih banyak kekurangan di itin tersebut. Termasuk, informasi transportasi dan akomodasi. Juga mengenai jadwal keberangkatan boat dari Bali ke Lombok, dlsb. Namun demikian, aku cukup puas.

Aku juga sudah meminjam snorkel gear dan kamera underwater dari temanku.

Satu hal yang ada dalam pikiranku saat itu, perjalanan ke Bali akan menjadi liburan yang menyenangkan. Aku tidak perbah berpikir itinerary yang sudah kususun sedemikian rupa tersebut aan berubah menjadi sampah tak berguna begitu aku sampai di Bali.


orang baik

Menurut gue, Tulang dan Nantulang gue itu orang yang sangat tidak considerate. Entah apa pun arti dari kata considerate itu sendiri, gue gak tau. Gue hanya pakai kata itu karena kedengaran sophisticated di telinga gue. Apa lagi itu sophisticated?

Pokoknya Tulang dan Nantulang gue jenis orang yang kadang terasa sangat nyebelin. Mereka itu control freak yang kadang suka memaksakan kehendak tanpa menanyakan opini orang lain. Kalau Nantulang gue udah ngomong tentang satu hal, dia akan terus mengulanginya sampai orang yang dimaksud pingsan atau kejang-kejang dilantai dengan  mulut berbusa. Kalau Tulang gue beda lagi, dia mau semua hal yang ada di rumah sesuai dengan kehendaknya. Contohnya, kalau nyalain air kran harus kecil, biar kotorannya gak ikut turun ke bak mandi. Kalau nyetrika pakaian jangan satu satu, listriknya mahal. Kalau boker pagi aja, sekalian mandi, biar jangan ngabisin banyak air. Pokoknya gitu deh, nyebelin.

Beberapa hari yang lalu, waktu gue pulang gue baru pulang kerja, hanya ada  sepupu gue dirumah. Tulang gue lagi jemput Nantulang gue pulang kerja, mungkin 10-30 menit lagi bakal sampai dirumah. Karena gue pulang cepat hari itu, gue ajak sepupu gue main PS seperti biasa. Sembari dia nyiapin PS dan perkakasnya, gue pergi mandi. Waktu gue selesai mandi, ternyata Tulang dan Nantulang gue udah pada pulang.

Gue langsung masuk kamar, cek hape, maen twitter dan ngeringin rambut sebentar semelum maen PS. Gaya banget deh pokoknya. Sementara itu Nantulang gue langsung pergi menuju dapur, kayaknya dia mau masak. Gue cuek, seperti biasa. Waktu gue ke ruang tengah, sepupu gue udah siap tempur maen PS. Gue juga udah siap.

Pokoknya maen PS.

Waktu gue baru pegang stick PS, tiba-tiba Nantulang gue manggil dari dapur.

“Woi, bisa minta tolong gak?”

“Ngapain, Lang?” jawab gue tanpa semangat.

“Ini. Nantulang mau masak spaghetti. Tolong irisin bawang, cabe ama daun bawangnya ya.” Katanya santai, padahal gue lagi gak pengin diganggu. Hanya pengin maen PS aja, walaupun kalah mulu kalau tanding ama sepupu gue.

“Sekarang, Lang? Mau maen PS dulu nih.” Gue nyahut berusaha nego.

“Eh, sekarang lah. Untuk makan malam kita ini.” Dia menjawab sambil mengatakan hal yang tidak bisa dibantah lagi.

Dengan langkah gontai gue pergi menuju dapur dan mulai mengiris bawang. Karena memang gak bisa mengelak lagi, gue pun ngiris bawang dengan setengah hati. Sambil ngiris bawang, gue ngebayangin tanding maen Naruto bareng sepupu gue. Gue maen pake Kimimaro, sepupu gue pake Kakashi. Walaupun gue udah bisa menang lawan Com dalam mode ultimate, tapi gue tetep kalah ama sepupu gue. Dia emang kampret.

Melihat muka gue yang kusut, Nantulang gue bilang “Masak itu yang lama hanya pada waktu mempersiapkan bahannya. Nanti kalau semua bahannya udah siap, masaknya mah cepat. Makannya lebih cepat lagi.”

Entah udah berapa kali gue dengerin kalimat itu keluar dari mulut Nantulang gue. Setiap kali dia minta tolong dalam hal memasak, pasti dia ngomong itu.

Semalam juga. Lagi-lagi waktu gue mau maen PS ama sepupu gue, nantulang gue nyuruh gue menghaluskan bumbu masakan. Dan disela-sela kegiatan itu, Nantulang gue bilang, “Masak itu yang lama hanya pada waktu mempersiapkan bahannya. Nanti kalau semua bahannya udah siap, masaknya mah cepat. Makan masakannya lebih cepat lagi.”

Gue sampe hapal mati sama kalimat itu. Dankarena itulah gue bilang mereka nyebelin.

Tapi kadang, Tulang dan Nantulang gue bisa berubah menjadi orang yang sangat baik.

Beberapa hari ini hujan turun terus setiap pagi. Gue yang biasanya pergi ke kantor dengan menggunakan transportasi umum (angkot, ojek dan bus) merasa kesulitan untuk sampai ke kentor tanpa kebasahan. Payung is a big NO.  Jas hujan apalagi. Topi hanya membantu sedikit, sementara jaket dan sweater hanya bisa menghangatkan badan.

Intinya, gue dalam masalah.

Jadi atas dasar kebaikan Tulang gue, tiap pagi kalau hujan turun, atau kalau gerimis turun, Tulang gue pasti nganterin gue naik mobil sampai ke pintu tol, tempat gue dan Nantulang gue ngambil bus ke kantor. Seperti kemaren, pagi-pagi udah gerimis. Gue udah siap-siap pake sweater dan topi untuk jalan ke depan kompleks dan naik angkot ke pintu tol. Tapi sebelum gue pergi, Tulang gue udah keluarin mobil untuk nganterin Nantulang gue. Jadi gue bisa nebeng sampai pintu tol tanpa kebasahan sedikitpun. 

Thanks, Tulang.

Sesampainya di tol, gerimis masih gencar turun. Nantulang gue, yang kebetulan kantornya lebih jauh dari gue, ngusulin untuk naik taksi ke kantor. Bus yang menuju kantor Nantulang gue emang hanya satu jenis dan selalu penuh. Sementara, kantor gue ada diantara pintu tol tempat kami ngambil bus dan kantor nantulang gue. Akhirnya gue dan Nantulang gue naik taksi ke kantor dan dibayarin ama Nantulang gue. Hurray. Gue bisa irit 15ribu hari ini. Buat beli Jus Jambu kayaknya enak tuh.

Hal lain. Sabtu lalu Nantulang gue dinas ke Bandung, pergi Jumat dan pulang Minggu. Praktis yang tinggal di rumah hanya 3 jagoan neon berjenis kelamin lelaki: gue, Tulang gue dan sepupu gue.  Biasanya setiap hari Sabtu pagi, kami sekeluarga makan Bubur Ayam langganan kami. Harganya murah dan rasanya enak banget. Karena udah jadi kebiasaan untuk makan Bubur Ayam setiap hari Sabtu pagi, Nantulang gue jarang masak makanan untuk hari itu. Biasanya dia untuk makan siang dan makan malam.

Tapi hari itu si Tukang Bubur langganan lagi pulang kampung, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Itu pun ketahuan setelah Tulang gue telpon si Tukang Bubur (thanks to technology). Karena udah kelaparan, akhirnya Tulang gue langsung pasang ikat kepala dan mulai bergerilya di dapur. Gue yang waktu itu masih ngulet di kamar hanya bisa mendengar suara blender, suara panci dan suara-suara lain. Sekian menit kemudian, Tulang gue manggil gue dan bilang, “Bangun woi.. nasi gorengnya udah selesai. Buru makan, mumpung masih panas!”

Gue yang waktu itu hanya cuek-cuek aja langsung kaget waktu Tulang gue bilang nasi gorengnya udah selesai dimasak. Gue gak bisa bayangin Tulang gue masak pagi-pagi hanya untuk gue dan sepupu gue. Ini tuh beyond expectation. Gue tersentuh banget waktu itu. Gue pun bangun dan langsung makan nasi goreng itu bersama sama Tulang gue dan sepupu gue di ruang tengah. Kami makan dengan lahap sambil menyalahkan si Tukang Bubur yang kabur tanpa kabar.

Dan saat itu gue bilang, “Tulang gue bisa baik juga ternyata!”